Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Catatan Tahun 2022 KRL Commuter Line dan Potensi Kian Tergencetnya Kelas Menengah di 2023

31 Desember 2022   09:44 Diperbarui: 3 Januari 2023   23:20 1215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lantai peron basah akibat bocornya Stasiun Manggarai (foto by widikurniawan)

Tahun 2022, moda transportasi massal KRL Commuter Line mulai merangkak dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19 di dua tahun sebelumnya. Terjadi tren peningkatan jumlah penumpang seiring dengan melonggarnya aturan pembatasan akibat pandemi.

Pada bulan-bulan awal 2022, masih kerap terlihat antrean panjang penumpang untuk masuk ke dalam peron stasiun. Hal ini karena waktu itu masih ada pembatasan jumlah penumpang sebanyak 45% hingga 60% dari kapasitas pengguna. Meskipun pada akhirnya persentase tersebut jadi absurd karena faktanya kerap terlihat KRL selalu dipadati penumpang, terutama di rush hours.

Tempat duduk yang semula diberi jarak dengan tanda silang, baru hilang mulai bulan Maret. Sejak itulah hari demi hari seolah tiada kereta yang longgar pada jam sibuk.

Bahkan disinyalir mulai bermunculan pengguna-pengguna baru KRL, mereka yang baru lulus kuliah atau sekolah dan mendapat pekerjaan baru. Ada pula yang tiap hari bolak-balik naik KRL untuk mencari pekerjaan, dan enggan berdiam di rumah karena terlihat nganggur di mata tetangga dan keluarga. Demikian pula para pencopet yang seolah meramaikan suasana sambil mencari peluang menambah "penghasilan".

Pola transit baru di Stasiun Manggarai (foto by widikurniawan)
Pola transit baru di Stasiun Manggarai (foto by widikurniawan)

Bulan Mei 2022 menjadi bulan bersejarah bagi pengguna KRL khususnya area Jabodetabek. Tepatnya sejak 28 Mei 2022 Stasiun Manggarai melakukan switch over ke-5 (SO5) atau peralihan sistem persinyalan dan operasional.

Imbasnya luar biasa karena jalur gemuk dari Bogor ke Angke via Sudirman dan Tanah Abang dihilangkan, digantikan relasi dari Bekasi/Cikarang. Artinya, penumpang dari Bogor dan Depok yang luar biasa banyak jumlahnya harus rela susah payah transit di Stasiun Manggarai.

Masalahnya, SO5 yang berkaitan dengan pembangunan insfrastruktur Stasiun Manggarai menjadi stasiun sentral, terkesan buru-buru dan tidak didesain dengan matang. Tiang-tiang beton yang memakan area peron menjadi sempit, sangat membahayakan penumpang yang berjubel.

Tiang beton meresahkan di Stasiun Manggarai (foto by widikurniawan)
Tiang beton meresahkan di Stasiun Manggarai (foto by widikurniawan)

Demikian pula jarak celah antara lantai peron dengan kereta yang tidak seragam dan terbilang lebar. Sudah beberapa kali memakan korban penumpang yang kakinya terjerumus ke celah peron Stasiun Manggarai.

Belum lagi fasilitas seperti eskalator dan lift yang kerap mati. Bahkan setelah Persiden Jokowi meresmikan pembangunan Stasiun Manggarai Tahap I pada 26 Desember 2022 lalu, sehari berikutnya dan juga tanggal 30 kemarin, masih saja eskalator mati bergantian terjadi di stasiun yang konon bakal menjadi termegah di Asia Tenggara.

Eskalator mati Stasiun Manggarai kembali mati di jam sibuk (foto by widikurniawan)
Eskalator mati Stasiun Manggarai kembali mati di jam sibuk (foto by widikurniawan)

Eh, jangan lupakan juga kalau hujan masih ada beberapa titik yang bocor dan membuat lantai peron basah dan licin. Seperti yang terjadi pada beberapa hari lalu. Suatu hal yang seolah kecil tapi berbahaya karena lantai peron licin berpadu dengan desak-desakan penumpang yang hendak naik dan turun kereta, tentu sangat berisiko.

Lantai peron basah akibat bocornya Stasiun Manggarai (foto by widikurniawan)
Lantai peron basah akibat bocornya Stasiun Manggarai (foto by widikurniawan)

---

Setelah peresmian Stasiun Manggarai Tahap I pada 26 Desember 2022 lalu, justru muncul kabar kurang mengenakkan bagi pengguna setia KRL Commuter Line Jabodetabek. 

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan melempar wacana penyesuaian sistem pembayaran KRL Commuter Line berdasarkan label kaya dan miskin. Sistem tersebut disinyalir agar subsidi bisa lebih tepat sasaran.

Saat ini besaran tarif perjalanan KRL Commuter Line di Jabodetabek sebesar 3.000 rupiah untuk 25 km pertama dan ditambahkan 1.000 rupiah untuk jarak setiap 10 kilometer berikutnya. Jadi misalnya saya naik dari Stasiun Bojonggede dan turun di Stasiun Sudirman, maka tarif yang saya bayar saat ini adalah sebesar 5.000 rupiah.

Andai wacana sistem tarif baru jadi dilaksanakan pada 2023, maka penumpang seperti saya bakal dilabeli "kaya" atau "miskin". Tak ada pilihan "menengah" atau "pas-pasan".

Padahal kelas menengah bisa dikatakan adalah mayoritas pengguna KRL Commuter Line. Mereka yang menyesaki KRL di jam-jam sibuk, adalah para pekerja dari pinggiran ibu kota yang tak kuat membeli rumah di Jakarta.

Mereka adalah para pencari nafkah keluarga yang tak punya kendaraan dinas dari kantornya untuk pergi dan pulang kerja. Mereka jelas bukan penumpang berdasi yang disebut Pak Menhub layak membayar tarif KRL tanpa harga subsidi.

Kalangan menengah pas-pasan layak ketar-ketir. Kalangan ini bisa saja termasuk "kaya" saat gajian, dan mendadak jatuh "miskin" mendekati akhir bulan. Bukan berarti mereka ini (dan saya) bermental subsidi, atau merasa layak terus disuapi pemerintah. Tidak lah.

Jika itu terkait subsidi gas elpiji, okelah silakan. Tarif listrik, monggo saja dibedakan antara subsidi atau tidak karena memang terlihat jelas pembedaannya. Demikian pula BBM, wajar saja ketika punya kendaraan bagus dan mahal maka tidaklah layak memakan subsidi.

Namun ketika diterapkan di KRL, kriteria kaya dan miskin inilah yang menimbulkan polemik. Sifat KRL yang komunal dipandang tidak pas jika diterapkan pembedaan tarif berdasarkan kemampuan ekonomi. Wong sama saja di KRL desak-desakan, sikut-sikutan, dan sama-sama diintai copet.

Kalangan menengah akan kian tergencet di dalam KRL (foto by widikurniawan)
Kalangan menengah akan kian tergencet di dalam KRL (foto by widikurniawan)

Kalangan menengah pantas resah mengingat mereka bakal mendapat predikat "kaya" secara mendadak walau kenyataannya taraf hidupnya sama sekali tak sebanding seorang Raffi Ahmad. Kelas menengah inilah yang sudah tergencet di dalam gerbong KRL, tergencet pula dengan berbagai kebijakan subsidi yang dinyatakan "haram" disentuh mereka.

Sebaiknya pembuat kebijakan tidak berpikir sektoral saja. Subsidi pada transportasi massal seperti KRL Commuter Line harus dipandang dari kaca mata yang lebih lebar.

Kaum kaya, anggap saja mereka yang punya kendaraan dan kerap memacetkan jalanan ibu kota. Ketika mereka beralih ke transportasi umum, sejatinya adalah pahlawan subsidi dan pahlawan anggaran negara. 

Mereka turut andil tidak memakan subsidi BBM. Mereka juga berjasa untuk tidak menyumbang polusi udara dan tidak ikut membebani jalanan menjadi rusak.

Jadi seharusnya sudah tepat jika KRL Commuter Line disubsidi tanpa pandang dia kaya atau miskin. Negara harus berterima kasih terhadap masyarakat yang rela menggunakan transportasi massal ketimbang memacetkan jalanan.

Tahun 2022 menyisakan ending menggantung bagi pengguna KRL Commuter Line. Ibarat drama, di akhir tahun ini masih menyisakan kata "bersambung". Maka episode selanjutnya di tahun 2023 layak dinantikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun