Piala Dunia 2022 di Qatar tinggal menghitung hari. Tapi suasana masih adem ayem saja, seolah larut dalam hawa dingin akibat musim hujan belakangan ini.
"Kirain Piala Dunia masih tahun depan, udah nggak pernah nonton tivi soalnya, apalagi nggak kebagian STB gratis, tivi di rumah cuma jadi pajangan aja, haha.." ucap tukang sayur yang kerap mangkal di ujung kompleks rumah saya.
Baginya, Piala Dunia juga nggak penting-penting amat ditonton. Lebih penting cari uang baginya.
"Dari dulu kan yang juara itu-itu saja, kalau nggak Jerman ya Brasil atau Italy. Saya pegang Italy deh tahun ini biar seru.."
"Lho Bang, Italy enggak main Piala Dunia tahun ini!"
Itulah Piala Dunia 2022 menurut Abang Sayur. Mungkin mewakili pandangan masyarakat kebanyakan lainnya.
Gelaran Piala Dunia 2022 Qatar memang terasa berbeda. Beda era, beda tempat penyelenggara yang kali ini di jazirah Arab, dan tentu saja beda waktu yang biasanya tengah tahun setelah liga-liga domestik usai, kini justru digelar akhir tahun di kala liga-liga domestik masih berjalan seru-serunya.
Segala perbedaan itu membuat saja throwback ke beberapa tahun silam ketika ajang Piala Dunia seolah mampu menyedot animo dan fokus pembicaraan di mana-mana.Â
Piala Dunia 1990 adalah awal saya mengikuti berita turnamen besar sepak bola. Era saat internet masih jadi barang mewah, maka segala informasi tentang Piala Dunia bersumber dari koran, tabloid, majalah hingga televisi dan radio.
Generasi 80'an dan 90'an penggemar sepak bola tentu mengenal tabloid BOLA, majalah BOLA Vaganza, Hai Soccer, TopSkor, Libero, dan lain-lain. Deretan tabloid dan majalah olahraga itulah yang selalu ditunggu dan selalu laris bak kacang goreng ketika terbit.