Kenaikan harga BBM memicu peralihan penggunaan moda transportasi. Setidaknya di Jabodetabek, jumlah penumpang moda transportasi publik KRL Commuterline dan MRT Jakarta mengalami lonjakan.
Data resmi dari PT KAI Commuter menyebutkan pengguna KRL Commuterline Jabodetabek di hari kerja pada pekan ini tercatat naik 3 persen dari 689.310 orang ke 708.568 orang per hari. Demikian pula volume pengguna pada akhir pekan juga naik sebesar 9 persen, yakni 1.119.188 orang atau rata-rata 559.594 orang per hari.
Selain Jabodetabek, KRL Jogja-Solo juga mengalami peningkatan volume jumlah penumpang.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagai pengguna KRL Commuterline dan sekaligus MRT Jakarta, kepadatan penumpang memang terasa meningkat di kedua moda tersebut. Terutama di KRL yang tiap hari sudah padat usai pandemi melemah, semakin padat saja gegara harga BBM naik.
Selain beralih dari kendaraan pribadi, ada pula yang beralih dari transportasi umum yang ongkosnya naik, seperti bus dan angkot. Pilihan untuk naik KRL Commuterline tentu didasari harga ongkos yang lebih murah dibandingkan transportasi berbasis BBM, dan untungnya hingga saat ini wacana kenaikan tarif KRL masih belum terlaksana.
Walau terpaksa, di satu sisi penggunaan transportasi publik bagi masyarakat patut disambut baik. Artinya, masih banyak masyarakat yang sudi meninggalkan kendaraan pribadi yang rentan menimbulkan macet, polusi dan menggerogoti subsidi BBM.
Namun, di sisi lain ketersediaan transportasi publik masih belum optimal, belum merata dan tidak bisa dibilang nyaman. Mau nyaman bagaimana jika setiap hari manusia masih dipaksa untuk berjejalan dalam kereta listrik, saling beradu satu sama lain, rentan emosional dan stres.
Tengoklah tiap hari di jam sibuk pagi dan sore hari di Stasiun Manggarai. Sebagai stasiun transit terbesar, Stasiun Manggarai terlalu banyak cerita miris tentang pelayanan yang kurang optimal hingga kepadatan manusia yang kerap tidak manusiawi.
Memang saat ini Stasiun Manggarai tengah berbenah dan masih dalam tahap renovasi. Tetapi desain tambal sulam untuk sisi stasiun yang saat ini sudah digunakan, terlihat tidak memenuhi kaidah untuk kenyamanan pengguna massal. Belum lagi fasilitas pendukung yang kerap ngadat seperti lift dan eskalator.
Mungkin memang benar apa kata "pepatah" nyinyir: "mau murah kok nyaman?" Seolah hal itu berlaku pada transportasi massal seperti KRL Commuterline.
Kebutuhan transportasi di daerah Jabodetabek memang luar biasa pentingnya. Mobilitas masyarakatnya cukup tinggi karena terkait dengan urusan pencarian nafkah.
Bagi kelas menengah ke bawah, pekerja yang tinggal di daerah pinggiran penyangga ibukota Jakarta, mayoritas tidak akan mampu memiliki hunian di wilayah Jakarta. Mereka terpinggirkan oleh mahalnya harga properti dan kebutuhan hidup, sehingga rela tiap hari menghabiskan waktu di perjalanan untuk mencapai tempat kerjanya yang kebanyakan berada di Jakarta.
Daerah penyangga seperti Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi, kian hari kian padat penduduk, terutama yang memilih tinggal di wilayah yang dekat dengan akses transportasi kereta.
KRL Commuterline dengan segala kekurangannya, mau tidak mau masih menjadi primadona karena unggul di faktor biaya yang murah serta kecepatannya dibanding kendaraan konvensional. Sayangnya ketika jumlah pengguna naik, maka kenyamanan juga makin menurun.
Pihak PT KAI Commuter tiap hari selalu mengimbau agar penumpang dapat mengatur kembali waktu perjalanannya untuk menghindari kepadatan dalam kereta maupun stasiun. Sayangnya, imbauan tersebut tidak akan berlaku bagi para pekerja yang memang jam kerjanya seragam dan tidak bisa ditawar lagi. Masuk pagi sekitar jam 8 dan pulang sore sekitar jam 16 atau 17.
Namun, hal itu perlu diperhatikan bagi penumpang umum yang tidak terikat jam kerja saat berangkat maupun pulang.
Jika diperhatikan, beberapa hari ini kepadatan penumpang di KRL juga bertambah karena penumpang umum selain pekerja, yaitu keluarga yang membawa serta anak-anaknya. Tentu saja ketika mereka naik KRL di jam sibuk yang sedang padat-padatnya, akan merepotkan diri sendiri dan orang lain.
Alangkah lebih baik jika keluarga yang membawa anak, terutama bayi dan balita, tidak memilih jam-jam krusial yang sangat padat. Juga para orang tua yang sedang dalam kondisi kurang sehat, sebaiknya memilih waktu perjalanan yang tidak berbenturan dengan gelombang penumpang pekerja.
Menilik dari fenomena naiknya volume pengguna KRL Commuterline hingga MRT Jakarta saat ini, sudah sepatutnya para pengambil kebijakan mempercepat langkah mengembangkan sektor transportasi publik seiring naiknya harga BBM. Kawasan Jabodetabek nyatanya masih memerlukan transportasi massal lainnya seperti LRT dan bus antarkota.
Namun, sekali lagi yang dibutuhkan masyarakat adalah sistem transportasi publik yang tidak hanya mengejar angka-angka jumlah penumpang. Melainkan juga mempertimbangkan sisi kenyamanan, keamanan dan yang terpenting: manusiawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H