"Kak, kelebihan delapan ribu nih," tulisnya.
"Nggak papa, lain kali nambah lagi," jawab saya.
Rasa penasaran saya pun tuntas dengan cara kerja penjual jasa screenshot iPhone ini. Saya pun bisa dong pamer-pamerin ke status WA atau Instastory saya. Biar dikira elit gitu loh, padahal sebenarnya ekonomi sulit.
---
Ponsel iPhone memang identik dengan status sosial kelas atas. Bahkan brand tersebut sudah dianggap memiliki power tersendiri dan mengenyampingkan kegunaan riilnya.
Jasa screenshot ini muncul setelah fenomena serupa yang mendahului, yakni sewa ponsel iPhone. Tetapi karena sewa iPhone juga butuh biaya yang lumayan juga, maka begitu muncul jasa turunannya seperti jasa screenshot yang murah meriah, calon konsumennya seperti menemukan cara gampang nan receh untuk langsung dianggap elite.
Menjamurnya usaha jasa ini menyiratkan sebuah fenomena sosial yang menjangkiti masyarakat kita. Rasa ingin mendapat pengakuan, ingin dianggap mampu, ingin dibilang keren dan keinginan setara atau lebih dibandingkan orang lainnya.
Hanya saja ketika pengakuan yang didapatnya justru palsu dan dipaksakan, tentu ada sesuatu yang salah di sini. Maunya dipandang "wah" di mata orang lain, tetapi jika hal itu semu, lalu apa gunanya?
Jasa screenshot itu sendiri menyimpan risiko yang sangat besar. Demi dianggap seolah-olah punya iPhone, maka ketika orang tersebut rela memberikan password akun media sosialnya, pastinya sangat berbahaya.
Belum tentu si penjual jasa itu amanah, karena kita juga tidak mengenalnya. Bisa saja ini menjadi peluang bagi para pelaku kejahatan digital untuk mengelabuhi korbannya. Berpura-pura jualan jasa screenshot ternyata ujung-ujungnya hanya mengincar akun media sosial milik korbannya untuk disalahgunakan.