Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Rindu, LDR, dan Harga Tiket Pesawat yang Menguras Kantong

14 Agustus 2022   04:35 Diperbarui: 15 Agustus 2022   17:00 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan dari jendela pesawat (foto by widikurniawan)

Lelaki itu menghela nafas panjang usai menerima telepon dari istrinya. Ia duduk termenung dan mencoba menghitung sisa uang dalam tabungannya.

Sang istri, yang masih tinggal di rumah orangtuanya, dalam keadaan hamil dan membujuk suaminya untuk segera pulang. Rindu katanya.

Sementara sang suami, lelaki itu, tengah berada ribuan kilometer jauhnya. Mereka terpisah pulau dan lautan luas, serta terpaksa menjalani awal kehidupan rumah tangga secara jarak jauh atau long distances relationship (LDR) demi sebuah pekerjaan.

Syarat untuk bisa berjumpa adalah ketersediaan dana untuk membeli tiket pesawat PP beserta dana ikutannya, dan tentu saja restu dari bos untuk mengambil cuti.

Lelaki itu adalah saya sendiri sekitar 12 tahun yang lalu. Saya dan istri memang sempat menjalani hubungan LDR selama beberapa tahun karena berbagai kondisi yang menyertainya. Waktu itu saya bekerja di daerah Sulawesi Tenggara.

Saat itu tiket pesawat PP merupakan barang impian yang harus bisa terbeli setidaknya tiga bulan sekali. Jangan pernah menyimpulkan bahwa ketika seseorang bekerja di luar pulau terpisah dengan keluarganya, maka di satu sisi ada surplus pendapatan yang membuat harga tiket pesawat mudah terbeli. Nyatanya tidak semua seperti itu.

Kondisi saya saat itu, tiap tiga bulan harus bisa terbang pulang menemui istri. Maka setidaknya gaji selama sebulan harus rela dibelanjakan untuk keperluan perjalanan, termasuk tiket pesawat pulang pergi. Sedangkan gaji dua bulan lainnya dikelola untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Naik kapal laut hampir tidak menjadi pilihan jika jatah libur untuk sekedar pulang menemui keluarga di kampung halaman, dibatasi oleh durasi waktu yang ketat. Mau tidak mau perjalanan menguras kantong dengan pesawat atas nama rindu pun harus dilakukan.

Faktanya, di wilayah Indonesia yang begitu luas dan terdiri dari ribuan pulau ini, tersebar pula anak-anak bangsa yang harus bekerja merantau di luar pulau asalnya dan terpaksa menjalani kehidupan berkeluarga secara LDR.

Tengoklah di berbagai Bandara saat ini, tidak semua penumpang pesawat adalah para pelancong atau wisatawan, yang tentu saja punya surplus anggaran untuk perjalanan atas nama healing. Tidak semua juga merupakan orang berada, pejabat atau kalangan elite lain yang memang bisnisnya harus melakukan perjalanan ke berbagai daerah.

Seperti diri saya waktu itu, pekerja entry level, kelas bawah yang terpaksa menerima pekerjaan di luar pulau tanpa bisa membawa keluarga. 

Bagaimana mungkin membawa keluarga atau pasangan ketika di rantau harus tinggal di mes, asrama, atau bahkan kos sempit yang hanya berisi lemari plastik dan kasur busa tipis di atas lantai.

Ada yang bekerja sebagai pegawai negeri dari instansi pusat yang memiliki kaki hingga daerah pelosok. Ada yang bekerja di perusahaan swasta yang punya lini usaha hingga pulau terpencil, perbatasan, tepi hutan, bahkan pedalaman. 

Belum tentu juga kantor atau perusahaan memiliki anggaran untuk mengongkosi perjalanan pulang karyawan mereka. Lazimnya justru biaya perjalanan ditanggung sendiri jika termasuk perjalanan pribadi.

Ada pula yang merantau ikut kerabatnya yang berwiraswasta. Ambil contoh para kru warung pecel lele Lamongan yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia. 

Atau yang ikut merantau untuk berbisnis peralatan rumah tangga, pakaian dan sebagainya. Bisnis yang tak melulu berada di ruangan ber-AC, malah justru banyak dari mereka yang memberi nadi kehidupan di pasar-pasar tradisional di berbagai daerah di Indonesia.

Jumlahnya saya yakin sangatlah banyak dan merekalah yang selalu meramaikan Bandara dan memenuhi isi pesawat. Mereka naik pesawat bukan untuk sebuah kemewahan atau gaya-gayaan. 

Mereka naik pesawat untuk sebuah kebutuhan, karena hanya itulah pilihan transportasi yang akan segera membawa pulang atas nama kerinduan dan kemudian pergi lagi atas nama kebutuhan hidup.

Ketika saat ini harga tiket pesawat naik, tentu saja akan berpengaruh terhadap para pelaku LDR ini. Perjalanan sekedar menemui pasangan atau sang buah hati di kampung halaman, sudah pasti akan memerlukan biaya yang lebih membengkak.

Para penentu kebijakan, bahkan para pengamat, lebih banyak mempertimbangkan dan menyoroti dampaknya terhadap sektor pariwisata. Mereka seakan lupa (atau bahkan tidak menyadari) bahwa ada pengguna pesawat dari kalangan pekerja yang terpaksa harus LDR dengan keluarganya.

Padahal mereka inilah roda penggerak industri, perekonomian dan bahkan para abdi negara golongan rendah yang rela ditempatkan hingga daerah terpencil terpisah dengan keluarganya.

Saat harga tiket pesawat membumbung tinggi, sementara upah atau gaji tidak sebanding, bisa saja merembet pada dampak pemenuhan sumber daya manusia di daerah-daerah terpencil. 

Orang menjadi berpikir seribu kali ketika akan pergi merantau atau menerima pekerjaan yang membutuhkan transportasi udara untuk menjangkaunya.

Sementara bagi yang memilih bertahan, karena pilihan lapangan pekerjaan memang terbatas, bisa jadi justru akan mengorbankan keluarga yang terlanjur LDR.

Bisa jadi masa tiga bulan sekali pulang ke kampung halaman terpaksa berubah menjadi enam bulan sekali atau bahkan setahun sekali.

Saya sudah menyaksikan berbagai kasus ketika sebuah rumah tangga terancam retak atau bahkan sudah tercerai berai gara-gara LDR, berjauhan secara fisik. Ada tantangan dan permasalahan yang sewaktu-waktu berpotensi mengancam rumah tangga yang LDR.

Namun, bagaimanapun pemerintah melalui Kementerian Perhubungan mengizinkan maskapai untuk menaikkan harga tiket pesawat awal Agustus ini. 

Inilah salah satu ujian dan tantangan bagi mereka yang menjalani LDR. Semoga mereka bisa menyesuaikan dengan kondisi ini dan tidak menyerah dengan keadaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun