Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ekonomi Inklusif bagi Disabilitas dan Tantangan Berupa Stigma

30 Juli 2022   23:12 Diperbarui: 30 Juli 2022   23:16 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stigma yang memandang dengan tatapan belas kasihan atau justru anggapan lemah, sudah tidak relevan lagi untuk mendorong kesetaraan. Sebelum mengarah pada pemberdayaan ekonomi inklusif, ada baiknya kita membongkar terlebih dahulu stigma yang melekat hanya berdasarkan perbedaan fisik yang terlihat.

Terkait hal itu, ada satu hal yang menarik yang pernah saya lihat. Jika kita melintas di kawasan Terowongan Kendal, Dukuh Atas, Jakarta Pusat, terdapat sebuah kedai kopi di ujung terowongan yang tak jauh dari Stasiun KRL Sudirman. Menariknya, kedai berjudul Difabis Coffe and Tea itu dikelola oleh para penyandang disabilitas tuli.

Kedai kopi Difabis yang dikelola penyandang disabilitas di kawasan Terowongan Kendal, Dukuh Atas, Jakarta Pusat (foto by widikurniawan)
Kedai kopi Difabis yang dikelola penyandang disabilitas di kawasan Terowongan Kendal, Dukuh Atas, Jakarta Pusat (foto by widikurniawan)

Soal stigma, di area tersebut saya pernah memperhatikan seseorang yang menolak ajakan temannya membeli kopi di kedai tersebut. Alasan yang saya tangkap adalah, dia takut tidak bisa berkomunikasi saat bertransaksi.

Benarkah demikian?

Ketika saya mencoba untuk membeli kopi di kedai tersebut, tidak ada kendala yang membuat saya kebingungan saat memesan kopi. Terlebih di depan kedai terdapat banner bahasa isyarat yang bisa dipelajari oleh khalayak umum.

Dengan cekatan, barista menggunakan isyarat tangan yang mudah dimengerti oleh saya. Ia menunjuk di papan menu, saya pun memilih kopi susu gula aren.

Panas atau pakai es? Pertanyaan dengan bahasa isyarat ini pun langsung saya pahami karena dia menunjuk ke daftar menu yang mudah dimengerti.

Tak lama kemudian, segelas es kopi susu gula aren pun jadi. Saya membayar sesuai harga, dia menerimanya dengan senyum dan ungkapan terima kasih yang mudah saya pahami.

Pemberdayaan bagi disabilitas untuk mengelola kedai kopi seperti ini patut diapresiasi. Tentu saja mereka telah mendapatkan pelatihan sehingga bisa dengan mudah melayani pembeli yang berasal dari berbagai kalangan, dan tentu saja pelatihan khusus untuk menciptakan minuman yang nikmat.

Kembali lagi, soal stigma terhadap mereka masih menjadi PR yang patut kita selesaikan bersama.

Peran presidensi Indonesia pada forum G20

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun