Stigma yang memandang dengan tatapan belas kasihan atau justru anggapan lemah, sudah tidak relevan lagi untuk mendorong kesetaraan. Sebelum mengarah pada pemberdayaan ekonomi inklusif, ada baiknya kita membongkar terlebih dahulu stigma yang melekat hanya berdasarkan perbedaan fisik yang terlihat.
Terkait hal itu, ada satu hal yang menarik yang pernah saya lihat. Jika kita melintas di kawasan Terowongan Kendal, Dukuh Atas, Jakarta Pusat, terdapat sebuah kedai kopi di ujung terowongan yang tak jauh dari Stasiun KRL Sudirman. Menariknya, kedai berjudul Difabis Coffe and Tea itu dikelola oleh para penyandang disabilitas tuli.
Soal stigma, di area tersebut saya pernah memperhatikan seseorang yang menolak ajakan temannya membeli kopi di kedai tersebut. Alasan yang saya tangkap adalah, dia takut tidak bisa berkomunikasi saat bertransaksi.
Benarkah demikian?
Ketika saya mencoba untuk membeli kopi di kedai tersebut, tidak ada kendala yang membuat saya kebingungan saat memesan kopi. Terlebih di depan kedai terdapat banner bahasa isyarat yang bisa dipelajari oleh khalayak umum.
Dengan cekatan, barista menggunakan isyarat tangan yang mudah dimengerti oleh saya. Ia menunjuk di papan menu, saya pun memilih kopi susu gula aren.
Panas atau pakai es? Pertanyaan dengan bahasa isyarat ini pun langsung saya pahami karena dia menunjuk ke daftar menu yang mudah dimengerti.
Tak lama kemudian, segelas es kopi susu gula aren pun jadi. Saya membayar sesuai harga, dia menerimanya dengan senyum dan ungkapan terima kasih yang mudah saya pahami.
Pemberdayaan bagi disabilitas untuk mengelola kedai kopi seperti ini patut diapresiasi. Tentu saja mereka telah mendapatkan pelatihan sehingga bisa dengan mudah melayani pembeli yang berasal dari berbagai kalangan, dan tentu saja pelatihan khusus untuk menciptakan minuman yang nikmat.
Kembali lagi, soal stigma terhadap mereka masih menjadi PR yang patut kita selesaikan bersama.