Fenomena anak muda nongkrong di kawasan Sudirman, Dukuh Atas, Jakarta, yang memunculkan istilah SCBD alias Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok, menyisakan sebuah pertanyaan khusus. Apakah memang di daerah Citayam, Bojonggede dan Depok teramat minim ruang publik?
Faktanya beberapa tahun belakangan, di kawasan penyangga ibu kota Jakarta itu bermunculan taman-taman, alun-alun, dan ruang publik lainnya yang dibuat khusus untuk kebutuhan warga setempat.
Kawasan Grand Depok City, memunculkan alun-alun kota yang selama ini tidak dimiliki oleh Kota Depok. Lokasinya jika diakses dari Citayam sebenarnya juga mudah dan tak begitu jauh.
Nah, Citayam ini letaknya satu jalur dengan Bojonggede, Kabupaten Bogor. Kedua wilayah tersebut bahkan semacam jadi segitiga dengan Kecamatan Cibinong, ibu kota Kabupaten Bogor.Â
Di sinilah beragam ruang publik bertebaran, ada Taman Cibinong Situ Plaza, Situ Cikaret, hingga kawasan Stadion Pakansari dengan hiruk pikuk tempat nongkrong anak muda, seperti kafe, angkringan gaul, dan kaki lima.
Okelah, jika tipikalnya adalah tongkrongan tanpa keluar biaya banyak untuk nongkrong di kafe, sebenarnya di Bojonggede, tepatnya sepanjang 2 kilometer di Jalan Raya Bojonggede, terdapat ruang publik yang terbilang baru. Ruang publik bernama Taman Perubahan Bojonggede ini membentang di sisi jalan dari SPBU Bojonggede hingga pertigaan Bambu Kuning.
Dulunya di area ini terdapat deretan kios-kios yang berdiri di tanah negara yang kemudian diratakan untuk pembangunan ruang terbuka hijau. Kawasan ini juga merupakan bantaran Kalibaru Bojonggede yang kerap meluap ketika hujan serta menggenangi jalan raya dan membawa sampah-sampah berserakan.
Pada sisi barat sungai Kalibaru, terdapat jalur rel KRL Commuterline yang menghubungkan Stasiun Bojonggede dan Stasiun Citayam. Dan memang tak jauh dari tempat itu ada Stasiun KRL Bojonggede yang menjadi salah satu stasiun 5 besar dengan jumlah penumpang terbesar.
Kini setelah revitalisasi bantaran sungai, sejak awal tahun 2022, Taman Perubahan Bojonggede sudah bisa digunakan oleh masyarakat luas. Tetapi memang harus diakui, antusiasme warga terbilang biasa saja.
Beberapa waktu lalu memang taman ini sempat ramai untuk nongkrong. Tetapi selanjutnya sepi lagi.
Ada kalanya malam minggu terlihat banyak anak muda duduk-duduk di taman ini, tetapi kemudian banyak malam-malam lainnya yang bisa dibilang biasa-biasa saja suasananya. Sempat pula dibuat tongkrongan kelompok premotor, tetapi selanjutnya mereka entah ke mana.
Minggu pagi pun demikian. Ada kalanya warga memanfaatkan sebagai trek untuk jogging, bermain bulutangkis, hingga skateboard. Tapi di akhir pekan lainnya lebih kerap terlihat sepi.
Lalu ke manakah anak-anak muda setempat nongkrong? Ya, kita bisa sebut bahwa anak-anak muda usia remaja itu lebih memilih pergi nongkrong ke kawasan Sudirman, Jakarta, tepatnya di sekitar Taman Dukuh Atas.
Apa susahnya pergi ke Sudirman dari Bojonggede maupun Citayam? Pergi ke Sudirman naik KRL cuma bayar tiket 5 ribu rupiah dari Bojonggede, atau 4 ribu rupiah dari Citayam. Cukup murah meriah dan mudah.
Bukan salah ruang publik di kawasan Bojonggede dan Citayam jika para remajanya memilih pergi ke area Sudirman sebagai kawasan nongkrong. Mereka bukan butuh sekadar taman atau ruang publik untuk nongkrong. Lebih dari itu, mereka butuh "naik kelas" ke area yang menawarkan prestise lebih tinggi.
Taman Dukuh Atas menjadi bagian kawasan TOD alias Transit Oriented Development yang mudah diakses orang dari mana saja. Pengguna KRL, bisa lanjut MRT dan Transjakarta di situ. Lokasinya memang tiada lawan karena teramat strategis di pusat Jakarta, dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi yang tak bisa didapati di Citayam maupun Bojonggede.
Even-even kreatif juga kerap muncul di kawasan ini, termasuk di terowongan Kendal yang instagramable. Eksistensi yang kemudian bergaung luar biasa di media sosial, membuktikan bahwa kawasan Dukuh Atas memiliki nilai lebih atau faktor X yang menjadi magnet para ABG untuk datang dari daerah sub-urban.
Sekarang coba bayangkan jika terowongan Kendal di Dukuh Atas masih berupa jalan raya tempat lalu lalang kendaraan. Juga tak ada stasiun MRT di dekat situ. Mungkin fenomena SCBD juga tak bakal ada.
Kembali ke Bojonggede dan Citayam, ruang publiknya sudah ada tapi faktor X-nya yang tidak ada.
Sempat beberapa waktu lalu sebuah video beredar ketika arena bermain skateboard di Cibinong Situ Plaza justru dikuasai oleh emak-emak yang tengah menyuapi anaknya. Ketika diminta untuk memberi kesempatan anak-anak muda bermain skateboard, justru galakan emak-emak itu.
Tipikal ruang-ruang publik di daerah penyangga memang lebih pada pemanfaatan bersama, segala usia. Nah, bisa jadi para remaja itu kurang nyaman dengan situasi seperti ini. Berbaur satu ruang dengan emak-emak dan bapak-bapak yang momong anak-anak kecil. Ataupun dengan lansia yang tengah berolahraga ringan memulihkan diri secara tertatih-tatih.
Lagipula nongkrong di dekat rumah sendiri apa enaknya? Bisa jadi lagi asyik gandengan tangan dengan seseorang yang dianggap pacar, eh ketahuan tetangga yang lagi nyuapin anaknya. Pasti nggak asyik banget lah.
Minggu pagi ini, pemandangan anak nongkrong di Taman Perubahan Bojonggede adalah segelintir mereka dengan kisaran masih duduk di bangku SD. Mungkin ketika lebih besar dikit, mereka akan mengikuti jejak kakak-kakaknya untuk pergi ke Sudirman.
Terlebih ketika fenomena SCBD tengah hangat-hangatnya sekarang, menjadi wajar jika berimbas makin sepinya ruang publik di daerah penyangga. Pikir mereka, jika Bonge, Roy, dan Jeje bisa mendadak jadi selebritis berkat konten di media sosial, maka tak ada salahnya mereka kian sering nongkrong di Sudirman untuk menjemput kesempatan menjadi tenar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H