Sekarang coba bayangkan jika terowongan Kendal di Dukuh Atas masih berupa jalan raya tempat lalu lalang kendaraan. Juga tak ada stasiun MRT di dekat situ. Mungkin fenomena SCBD juga tak bakal ada.
Kembali ke Bojonggede dan Citayam, ruang publiknya sudah ada tapi faktor X-nya yang tidak ada.
Sempat beberapa waktu lalu sebuah video beredar ketika arena bermain skateboard di Cibinong Situ Plaza justru dikuasai oleh emak-emak yang tengah menyuapi anaknya. Ketika diminta untuk memberi kesempatan anak-anak muda bermain skateboard, justru galakan emak-emak itu.
Tipikal ruang-ruang publik di daerah penyangga memang lebih pada pemanfaatan bersama, segala usia. Nah, bisa jadi para remaja itu kurang nyaman dengan situasi seperti ini. Berbaur satu ruang dengan emak-emak dan bapak-bapak yang momong anak-anak kecil. Ataupun dengan lansia yang tengah berolahraga ringan memulihkan diri secara tertatih-tatih.
Lagipula nongkrong di dekat rumah sendiri apa enaknya? Bisa jadi lagi asyik gandengan tangan dengan seseorang yang dianggap pacar, eh ketahuan tetangga yang lagi nyuapin anaknya. Pasti nggak asyik banget lah.
Minggu pagi ini, pemandangan anak nongkrong di Taman Perubahan Bojonggede adalah segelintir mereka dengan kisaran masih duduk di bangku SD. Mungkin ketika lebih besar dikit, mereka akan mengikuti jejak kakak-kakaknya untuk pergi ke Sudirman.
Terlebih ketika fenomena SCBD tengah hangat-hangatnya sekarang, menjadi wajar jika berimbas makin sepinya ruang publik di daerah penyangga. Pikir mereka, jika Bonge, Roy, dan Jeje bisa mendadak jadi selebritis berkat konten di media sosial, maka tak ada salahnya mereka kian sering nongkrong di Sudirman untuk menjemput kesempatan menjadi tenar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H