Eskalator mati jelas tidak nyaman bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik dan kurang sehat, termasuk ibu hamil. Memang bisa naik lift, tapi kondisinya setali tiga uang. Pun orang yang mengantre naik lift juga terlalu banyak sehingga memakan waktu yang lumayan.
Pegal linu, otot mengeras, hingga butuh kerokan adalah efek yang bisa menghinggapi para penumpang akibat menyiksanya transit di Stasiun Manggarai. Terlebih di sore hingga malam, ketika jam sibuk, penumpang KRL adalah mereka yang sudah seharian penuh menguras tenaga untuk bekerja. Situasi jauh dari kenyamanan saat naik KRL dan transit bisa jadi merembet ke arah stres, bukan lagi soal kelelahan fisik.
Pertanyaan yang mengusik di benak penumpang adalah "kok bisa?" Kenapa bisa eskalator di stasiun KRL rawan mati dan selalu berulang? Apakah memang maintenance yang buruk atau memang kualitas eskalator yang tidak bisa dibilang oke?
Tak bijak jika menyalahkan menumpuknya penumpang dan penggunaan yang over capacity menjadi biang kerok kerap matinya eskalator. Toh, penumpukan penumpang sebenarnya tergantung pengaturan pola transit yang tepat.
Menghilangkan rute langsung Bogor-Angke menjadi salah satu penyebab Stasiun Manggarai banjir penumpang yang transit. Ditambah pengaturan jadwal jika kereta selanjutnya lelet atau berjarak waktu cukup jauh, sudah pasti menambah penumpukan penumpang.
Meminta penumpang sabar dan menunggu "pihak terkait" melakukan action, sungguh bukan kebiasaan yang baik. Sifat dari sektor transportasi massal adalah gerak yang cepat serta mengutamakan keselamatan.
Atau jangan-jangan masih berlaku sebuah jargon usang yang menyebutkan: "bayar murah kok mau enak..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H