Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Meluruskan Niat Saat Berwisata ke Candi Borobudur, Mau Selfie Atau Ngapain?

7 Juni 2022   20:49 Diperbarui: 7 Juni 2022   21:03 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di pelataran Candi Borobudur (foto by widikurniawan)

Rasanya baru kemarin saya datang ke kawasan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Ya, tepatnya saat libur lebaran pada tanggal 5 Mei 2022 lalu.

"Biar anak-anak tahu dan punya pengalaman pernah datang ke Candi Borobudur," ujar istri saya ketika membujuk agar saya meng-ACC Candi Borobudur sebagai salah satu destinasi jalan-jalan.

Okelah kalau begitu. Jadilah kami sekeluarga cuzz mampir ke Candi Borobudur sebagai salah satu rangkaian perjalanan mudik sambil berwisata.

Jam 08.00 tepat kami sudah sampai tujuan, sesuai dengan jadwal buka. Tapi ternyata kawasan candi sudah dipenuhi lautan calon pengunjung. Parkiran juga dipadati oleh berbagai jenis kendaraan.

Para pengunjung datang dari berbagai daerah, terlihat dari dialek obrolan yang terdengar beragam dan khas. Ada yang berombongan besar, ada pula yang berombongan kecil terdiri dari empat orang, seperti kami.

Dari pintu masuk taman, jauh sebelum masuk areal candi, petugas sudah berulangkali mengumumkan bahwa pengunjung hanya diperbolehkan naik sampai pelataran candi saja. Sedangkan area puncak candi masih tertutup oleh pengunjung dengan alasan yang kami pahami adalah karena masih pandemi.

Suasana di kawasan wisata Candi Borobudur (foto by widikurniawan)
Suasana di kawasan wisata Candi Borobudur (foto by widikurniawan)

Tapi it's okay, tak ada protes dari pengunjung. Rata-rata yang datang memang sudah paham dan tahu bahwa pengunjung belum diperbolehkan naik ke area puncak candi. Bayar tiket 50 ribu rupiah hanya untuk sampai pelataran candi pun tak dipermasalahkan.

Dan seperti halnya fenomena kunjungan wisata pada umumnya saat ini, sebagian besar pengunjung tampak siap dengan smartphone berkamera di genggaman tangannya. Maklum lah, ngapain lagi berwisata jika tidak menyempatkan ambil foto-foto?

Tak hanya foto di latar belakang candi, bahkan di kawasan taman yang jauh di bawah candi, ketika ada spot menarik pengunjung akan rela antre untuk gantian berfoto di lokasi itu. Ini terjadi di spot foto berlatar belakang tulisan BOROBUDUR yang segede gaban.

Lalu, apakah memang hampir semua orang yang datang ke Candi Borobudur memang hanya ingin berfoto-foto?

Emm, kalau kami sekeluarga sih antara iya dan enggak. Hal utama bagi kami sebenarnya adalah pengalaman baru bagi anak-anak. Soal foto? Waduh, saya dan istri sebenarnya termasuk orang yang kurang pede untuk berselfie atau berfoto diri (kalau nggak percaya silakan follow instagram saya #eaaa).

Tapi memang, jika boleh mengambil kesimpulan sendiri, para pengunjung rata-rata terlihat terlalu sibuk mencari spot terbaik serta memikirkan gaya yang menarik saat difoto. Edukasi tentang candi adalah hal kesekian yang dipikirkan.

Bahkan ketika ada pemandu wisata atau guide lokal menawarkan jasa pendampingan ke candi, banyak pengunjung yang menolak (wah, termasuk saya nih, maafkan...).

Saat itu saya berpikiran bahwa memang tidak diperbolehkan naik ke puncak, jadi tidak terlalu membutuhkan peran guide. Panduan yang saya bawa adalah mbah google dan setitik ingatan dari bangku sekolah ditambah pengalaman waktu jaman sekolah dulu pernah dipandu guide bersama rombongan piknik sekolah.

Meluruskan niat sebagai wisatawan

Namun, apakah salah hanya mengejar pengalaman dan kenangan berupa foto di Candi Borobudur? Seharusnya tidak juga sih. Siapapun pasti akan menyempatkan diri berfoto saat datang ke Borobudur.

Tapi kalau sudah kelewatan dengan memanjat stupa, menginjak area terlarang, hingga melakukan vandalisme, jelas tidak dibenarkan. Masalahnya, dari berawal sekedar berfoto, kita bisa terlena dan kadang bisa melakukan hal-hal di luar nalar. Lagipula Candi Borobudur adalah warisan dunia yang patut dijaga dengan penuh kehati-hatian.

Itulah mengapa pemerintah merasa perlu mematok harga tiket hingga Rp 750 ribu rupiah untuk pengunjung yang naik ke atas. Itupun dengan kewajiban pendampingan dari pemandu wisata lokal. Ingat ya, naik ke atas itu yang bayar lebih, yang bayar Rp 50 ribu ya masih seperti sekarang, sampai pelataran saja. 

Ini lho, masuk pelataran sini masih bayar Rp 50 ribu (foto by widikurniawan)
Ini lho, masuk pelataran sini masih bayar Rp 50 ribu (foto by widikurniawan)

Wacana ini sudah pasti bikin pro dan kontra. Sayangnya yang kontra kerapkali ngegas berkomentar karena hanya membaca judul saja.

Alasan melindungi cagar budaya adalah hal utama yang dikemukakan. Membuat harga tiket selangit serta membatasi kuota pengunjung yang bisa naik ke atas hanya 1200 pengunjung, setidaknya diharapkan bisa melindungi bangunan candi.

Toh, untuk tujuan edukasi setidaknya tiket untuk pelajar terbilang murah yakni Rp 5000 saja. Berarti sebenarnya sudah ada pertimbangan untuk akses naik ke area puncak candi memang dikhususkan bagi tujuan pendidikan, riset, serta keagamaan.

Terkait hebohnya wacana tiket seharga Rp 750 ribu rupiah, pemerintah sendiri masih membuka kemungkinan untuk menurunkan harga. Tapi berapapun itu, semestinya kehebohan harga tiket Candi Borobudur bisa membuat kita para wisatawan lokal merenung kembali tentang apa sebenarnya yang kita cari dari mengunjungi candi tersebut.

Berpose di pelataran Candi Borobudur (foto by widikurniawan)
Berpose di pelataran Candi Borobudur (foto by widikurniawan)

Coba tanyakan diri sendiri, apakah sekedar foto selfie close up yang bahkan tidak menampakkan latar candi yang bakal kita bawa pulang?

Ataukah sekedar untuk mencari konten guna update status atau story?

Hal ini berlaku tak hanya di kawasan Candi Borobudur saja. Tetapi saat kita berkunjung ke suatu destinasi, niat seperti apa yang ada di diri kita? Sekedar euforia saja tentu tidak berarti apa-apa.

Ibaratnya kita datang ke sebuah museum ternyata hanya berujung foto-foto yang tersimpan di smartphone dan kemudian terlupakan. Sudah gitu aja? Puas? Ah ya, nggak gitu juga kali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun