Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Naik KRL Bukan Karena Cinta, tapi Terpaksa Karena Murah dan Cepat

21 Januari 2022   09:19 Diperbarui: 28 Januari 2022   17:00 1641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana kepadatan dalam KRL Commuterline (foto by widikurniawan)

Siapa sih yang senang naik KRL Commuterline? Saya akui saya sendiri senang, tapi bukan berarti cinta. Senang dalam level yang biasa saja, itu pun karena terpaksa, bukan karena sengaja memilih karena nyaman.

Lha memangnya tiap hari berdiri di kereta, antre panjang saat jam sibuk, berhimpitan, berdesakan dan sering keinjek penumpang lain tuh sebuah kenyamanan? Mungkin iya, tapi itu berlaku bagi oknum penumpang yang nyambi jadi copet atau pelaku kejahatan spesialis kerumunan.

Jika ditanyakan kepada para pengguna KRL Commuterline, terutama di Jabodetabek, alasan utama naik KRL tiap hari pasti menunjuk pada faktor murah dan cepat. Selain alasan selanjutnya, yakni tiadanya alternatif transportasi lainnya.

Rela antre naik KRL demi penghematan (foto by widikurniawan)
Rela antre naik KRL demi penghematan (foto by widikurniawan)

Kita mulai dari faktor murahnya tarif KRL Commuterline Jabodetabek. Saya berangkat dari Stasiun Bojonggede di Kabupaten Bogor dan turun di Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat. Ongkos yang  saya keluarkan untuk naik KRL pulang dan pergi adalah 5.000 rupiah x 2 x 25 hari, yaitu 250.000 rupiah per bulan.

Itu belum ditambah dengan biaya parkir nitip sepeda motor di Stasiun Bojonggede, 5.000 rupiah x 25 hari yang ketemu di angka 125.000 rupiah. Kenapa pakai motor segala? 

Jelas saja, kan rumah saya lokasinya bukan di sebelah loket stasiun. Jadi nitip sepeda motor di stasiun termasuk langkah penghematan dibandingkan ngojek. Terlebih angkot juga tidak lewat depan rumah saya.

Dari sekian biaya itu, masih harus ditambah dengan biaya transportasi lanjutan, yakni MRT, menuju tempat kerja saya di daerah Blok M, Jakarta Selatan. 

Jadi berapakah total keseluruhan ongkos transportasi yang saya keluarkan untuk pulang pergi kerja selama sebulan? Silakan kalau ada yang bantuin menghitung, tulis jawaban di kolom komentar di bawah ini.

Saya sebenarnya sudah menghitung keseluruhan total itu, dan saat dibandingkan dengan apabila saya naik moda transportasi lain, seperti bus Transjabodetabek yang sempat rutin saya naiki di masa pandemi sedang gila-gilanya. 

Tarif bus berada di angka 25.000 rupiah sekali naik, maka selisih totalnya bisa mencapai nominal 800.000 rupiah per bulan jika dibandingkan naik KRL.

Saya nggak mengada-ada lho. Kenapa bisa? Karena saya harus pakai kombinasi ojol dan MRT jika naik bus. Sebabnya lokasi ngetem bus juga terbilang lumayan dari rumah saya, dan tidak ada penitipan sepeda motor di lokasi itu. 

Pas turun di Jakarta, busnya juga masih jauh dari lokasi kantor saya. Makanya saat turun bus saya masih harus naik MRT lagi.

Itu kalau saya ya. Mungkin orang lain juga memiliki kombinasi lain dalam penggunaan transportasi selain KRL. Tentu saja ongkos transportasi per bulannya juga beragam, tidak sama tiap orang.

Bisa menghemat sampai 800.000 rupiah bila naik KRL ketimbang bus, membuat saya terpaksa masih senang-senang saja naik KRL. Uang segitu bisa digunakan membayar kebutuhan lain yang saling berlomba naik.

KRL Commuterline di Stasiun Sudirman (foto by widikurniawan)
KRL Commuterline di Stasiun Sudirman (foto by widikurniawan)

Memang harus diakui, pilihan masyarakat pekerja ibu kota yang tinggal di daerah "sulit" seperti Citayam, Bojonggede, Cilebut hingga Nambo, yang masuk wilayah Kabupaten Bogor, sangat terbatas di sektor transportasi umum.

Bus ke Jakarta pun jadwalnya amat minim. Tidak bisa sesuka hati kita berangkat. Beda dengan KRL yang datang dan pergi di stasiun tiap 5 menit.

Faktor kecepatan juga menjadi keunggulan mutlak KRL Commuterline. Bahkan, banyak orang yang di garasi rumahnya punya dua mobil sekalipun, tak jarang memilih naik KRL karena ingin menghindari kemacetan. Ya, macet memang momok di jalanan ibu kota. Siapa sih yang tidak senewen karena macet?

Bagi pekerja kantoran di ibu kota, naik KRL berarti upaya penghematan dan menekan pengeluaran. Bisa beda lagi artinya bagi pekerja freelance, anak kuliahan, anak sekolah, hingga para pedagang kecil dan pengamen.

Mereka ini tiap hari juga mewarnai ragam latar belakang penumpang yang tiap hari naik KRL menuju ibu kota. Sebutlah pedagang tahu sumedang yang kerap saya temui turun dari KRL saat pulang malam.

Harga wajar 10 buah tahu sumedang biasanya dibanderol 5.000 rupiah. Entah berapa rupiah keuntungan yang diperolehnya.

Kemudian jika dikaitkan dengan rencana kenaikan tarif KRL per April 2022 nanti, sudah pasti bakal memberatkan penumpang seperti dia. Harus berapa tahu lagi yang ia jual untuk menutup ongkos transportasinya?

KRL Commuterline Jabodetabek sudah menjadi tumpuan yang membantu hidup tak lebih berat karena biaya yang tinggi. Dengan segala risikonya, dengan segala ketidaknyamanannya, ongkos murahnya dirasa sangat membantu banyak kalangan menengah ke bawah.

Maka, kenaikan tarif walau disertai banyak alasannya, tidak akan mampu menyenangkan para pelanggannya. Justru memberatkan dan menekan kehidupan banyak orang.

Pikiran sederhana kami sebagai penumpang setia adalah, kenapa kalian pihak pengelola kereta, nggak bisa cari sumber dana lainnya selain membebankan lagi kepada penumpang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun