Sebagian besar perjalanan saya naik KRL adalah dengan posisi berdiri dengan satu tangan kiri pegangan dan tangan kanan pegang smartphone sebagai hiburan agar tidak jenuh dalam perjalanan. Dengan satu tangan, saya masih bisa baca-baca artikel, lihat-lihat Instagram, dan baca pesan masuk. Tapi jelas sulit untuk mengetik dengan satu tangan saat berada di perjalanan. Bisa oleng badan saya.
Demikian pula saat kondisi saya sedang dibonceng ojol. Jika terasa ada notifikasi masuk, saya berusaha ngintip apakah pesan itu sangat urgent atau tidak. Tapi yang pasti membalasnya butuh waktu setelah turun dari ojol.
Alasan berikutnya, ketika berada di kantor, di tengah pekerjaan, usai membaca sebuah pesan masuk, tak jarang saya harus kembali berkutat dengan tugas saya saat itu juga. Bisa jadi pula ada rekan kerja atau bahkan bos yang datang atau memanggil guna mengajak diskusi.
Ya otomatis pesan yang tadinya hendak saya balas jadi tertunda dulu karena ada hal urgent yang tiba-tiba datang.
Beda lagi saat di rumah. Tak jarang anak-anak meminjam smartphone saya untuk nonton YouTube. Ketika ada pesan WA masuk, namanya juga anak-anak, mungkin tak sengaja kepencet buka pesan dan kemudian masih dilanjut nonton.
Dari rentetan kejadian seperti itu, dengan pertimbangan saya tidak mau ada salah paham bahwa saya telah membaca pesan masuk tapi enggan segera membalasnya, maka saya pun memutuskan untuk menonaktifkan centang biru.
Apakah saya tidak memiliki adab karenanya? Toh, walau agak lama saya tetap berusaha membalasnya.
Jadi sebenarnya, mau aktif maupun nonaktif centang birunya, sama-sama bisa menimbulkan kesalahpahaman. Sama halnya isi pesan WA yang hanya berupa tulisan singkat, sangat berpotensi menimbulkan persepsi beda dan salah arti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H