Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Harga Gas Elpiji Nonsubsidi Naik, Panik Nggak Sih?

30 Desember 2021   11:07 Diperbarui: 31 Desember 2021   22:40 2387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabung gas elpiji ukuran 5,5 kilogram (foto by widikurniawan)

Pertamina telah menaikkan harga gas tabung elpiji nonsubsidi sejak Sabtu, 25 Desember 2021. Sementara untuk gas tabung elpiji bersubsidi 3 kg atau tabung gas melon harganya masih tetap.

Sebagai pengguna tabung elpiji Bright Gas dari Pertamina ukuran 5,5 kilogram, saya mesti bersiap-siap merogoh kocek lebih dalam lagi. Jika semula harganya Rp70.000 (di kawasan Bogor), kini sudah naik menjadi Rp76.000 untuk ukuran 5,5 kilogram.

Untungnya (masih ada untungnya juga), saya baru mengisi ulang tabung gas saya tepat dua hari sebelum kenaikan harga.  Jadi setidaknya masih ada waktu merasakan harga gas yang baru.

Namun, bagaimanapun momen kenaikan harga gas elpiji nonsubsidi ini terasa tidak pas dari kaca mata konsumen. Pengguna Bright Gas, terutama yang ukuran 5,5 kilogram, rata-rata merupakan kelompok kelas menengah yang sebenarnya nggak tengah-tengah amat. Kelompok ini rentan ngomel berkepanjangan dan shock sambil tepok jidat ketika terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok sehari-hari.

Tidak mengherankan, mengingat kelompok ini sebelumnya adalah pengguna gas melon bersubsidi yang diajak "naik kelas". Termasuk saya yang beralih ke Bright Gas 5,5 kilogram sejak 2017 gara-gara disentil penjual gas melon. Ditunjukin olehnya bahwa gas melon ada tulisannya "Hanya Untuk Masyarakat Miskin".

Memang sebenarnya ada harga ada kualitas. Dari segi kualitas, tabung gas imut warna pink Bright Gas sejauh ini tidak bermasalah ketika proses pemasangannya. Beda dengan gas melon yang dulu selalu bikin senewen dan keringat bercucuran akibat pemasangan yang kerap bermasalah. Sering nggak nyala api di kompor meskipun sudah tersambung dengan gas.

Masalahnya, hingga saat ini pun PR Pertamina yang katanya bakal membuat konsumsi gas elpiji 3 kilogram lebih tepat sasaran ternyata belum sepenuhnya berhasil. Fakta di lapangan, masyarakat yang rumahnya bagus lengkap dengan mobil di garasi, ternyata masih memakai gas melon untuk memasak.

Siapapun masih bebas-bebas saja membeli gas melon di warung. Nggak ada yang melarang, karena penjual gas pun tak ada yang meminta menunjukkan KTP sebelum membeli gas bersubsidi itu. Pak RT dan Pak Lurah pun tidak melarang, karena mereka juga memakai gas melon.

Makanya ketika saya mencoba mencari tanggapan atas berita kenaikan harga gas nonsubsidi, justru kalangan salah sasaran ini malah melongo.

"Oh, naik toh? Untung saya masih pakai gas melon," sebuah reaksi yang polos tanpa rasa bersalah apalagi panik.

Rencana yang katanya dulu bakal menerapkan mekanisme khusus menggunakan semacam kartu bagi warga miskin untuk membeli gas bersubsidi, nyatanya belum terlihat di lapangan. Walhasil masih kerap terlihat ada warga "miskin" membeli gas subsidi pakai mobil seharga ratusan juta.

Kini, belum selesai PR tersebut, berita kenaikan harga gas nonsubsidi di penghujung tahun 2021 sudah datang melengkapi "nestapa" kelompok masyarakat menengah yang sebenarnya tak jauh dari zona degradasi ke label kategori "miskin".

Saya bilang tadi momennya tidak pas mengingat belakangan ini masyarakat tengah dibombardir berbagai kenaikan harga kebutuhan dapur, mulai dari harga telur ayam ras yang "naudzubillah" melonjaknya. Ditambah harga minyak goreng yang sepertinya ogah turun dari angka Rp20.000 per liter. 

Belum lagi harga cabai rawit setan yang membuat penggila pedas lebih memilih menelan pedasnya omongan tetangga daripada harus mengeluarkan uang lebih banyak saat belanja.

Kompaknya kenaikan harga kebutuhan ditambah pula situasi pandemi yang masih mengancam dengan omicron. Nggak ada cuti pula bagi pekerja untuk sekadar tiduran pulas di akhir tahun. 

Plus ketika harapan terakhir kebahagiaan di akhir tahun justru runyam di tangan Thailand. Ya, kekalahan Timnas Indonesia pun menambah pusing kepala alih-alih sebagai pengobat lara akibat berbagai kenaikan harga.

Jika diibaratkan, momen bertubi-tubinya kenaikan harga dan berbagai kabar buruk itu seperti orang sedang dipukuli tapi tidak sanggup membalas. Pasrah saja walau pipi jadi lebam berwarna biru dongker.

Soal momen dinilai tidak pas, mungkin Pertamina bakal berkilah "Lho memangnya gue yang naikin harga telur ama cabe? Salah gue? Salah temen-temen gue?"

Ya, pastinya langkah menaikkan harga sudah melewati berbagai pertimbangan teknis yang hanya dipahami oleh internal Pertamina dan kalangan masyarakat yang memang tak mempermasalahkan ada kenaikan harga beberapa ribu rupiah saja.

Tapi bagi mereka yang terdampak, ini adalah salah satu ujian hidup yang harus dihadapi, termasuk dengan cara menghitung ulang komposisi anggaran dapur rumah tangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun