Harga telur ayam ras melonjak gila-gilaan jelang akhir tahun 2021. Jika biasanya harga sekilo berada di kisaran Rp 20.000 hingga Rp 26.000, kini sudah tembus di atas Rp 30.000 per kilogram.
Seminggu yang lalu, istri saya membeli telur ayam ras negeri sudah mencapai Rp 30.000 per kilonya.Â
Nah, tadi pagi, Minggu (26/12), giliran saya yang belanja ke warung kelontong ternyata sudah berada di harga Rp 34.000 per kilonya. Ini harga di daerah Kabupaten Bogor.
"Harganya 34 ribu Pak, gimana Pak, jadi mau beli apa nggak?" Tanya bapak yang punya warung.
Nah, bahkan yang jualan di warung pun merasa harus mengonfirmasi kembali ke calon pembeli. Apakah rela beli dengan harga tinggi atau tidak. Mungkin dia merasa iba juga dengan kondisi kenaikan harga ini.
"Ya, nggak papa lah Pak, mau gimana lagi," jawab saya.
Bapak pemilik warung itu kemudian mengambil satu per satu telur dan menimbangnya. Kepalanya sambil geleng-geleng, dan sedikit gerutuan bernada curhat keluar dari mulutnya.
"Tinggi banget emang naiknya, belum lagi minyak goreng masih betah saja harganya seliter 20 ribu. Cabe setan juga udah kayak setan beneran dah harganya," cerocosnya.
Sabar lah Pak, sabar. Saya sebagai konsumen juga mesti berpikir keras soal harga telur yang kata seorang kawan saya bahkan sudah nimbus Rp 37.000 di daerahnya.
Okelah naik terus aja nggak apa-apa juga sih. Aku "rapopo" asalkan Indonesia nanti jadi juara Piala AFF (eeaa...).
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag), bahkan sudah mengeluarkan pernyataan yang mengesankan bahwa kenaikan ini masih baik-baik saja. Disebutkan bahwa kenaikan harga jual telur menjadi momentum bagi peternak ayam layer atau petelur untuk memulihkan bisnis setelah 4 bulan terakhir mengalami kerugian.
Nah, kalau alasannya begitu, di samping kenaikan harga pangan dan situasi akhir tahun, sebagai anggota masyarakat yang baik, saya sih oke-oke saja. Asalkan peternak ayam petelur benar-benar happy sih nggak masalah juga.
Justru sebagai konsumen dan penggemar telur ayam garis keras, saya sempat merasa nggak enak hati ketika beberapa bulan lalu ramai berita saat peternak ayam petelur melakukan aksi pecah telur karena harganya jatuh di pasaran.
Namun, walaupun berusaha ikhlas ketika harga naik, semestinya tetap ada titik di mana harga telur ini harus berhenti naik.Â
Efeknya tak hanya tertuju kepada konsumen rumahan secara langsung, tapi ada pedagang kecil dan pengusaha yang juga terdampak.
Sebutlah usaha makanan yang menggunakan telur ayam sebagai salah satu bahannya. Martabak spesial tiga telur ayam yang biasanya saya beli dengan harga Rp 30.000, kini saya intip di aplikasi pemesanan makanan via ojol sudah naik sampai Rp 33.000.
Belum lagi penjual nasi goreng dan bakmi goreng. Pasti pusing juga memikirkan kenaikan harga telur ayam. Mau naikin harga takut kehilangan pelanggan. Mau mengurangi komposisi bahan juga tidak bisa. Kan, nggak mungkin seporsi nasi goreng bahan campurannya cuma setengah butir telur.
Beda dengan konsumen rumahan, atas nama penghematan, kita bisa mengakali konsumsi telur di dalam rumah. Misalnya tidak sering-sering makan telur dan memilih menu lainnya yang lebih ramah kantong.
"Jaman dulu tuh simbah bikin telur ceplok dipotong empat buat lauk anak-anaknya," cerita ibu saya ini selalu saya ingat ketika beliau menceritakan kembali pahitnya kehidupan di masa lalu.
"Dan itu sudah istimewa di jaman itu," lanjutnya.
Nah, itu puluhan tahun yang lalu. Kini suatu pagi di penghujung tahun 2021 yang konon sudah bersiap menuju era metaverse, saya sedang menimbang-nimbang bagaimana caranya sebiji telur ayam dimasak agar cukup dinikmati oleh dua orang.
Oh, begini saja deh. Ambil sebutir telur, kocok di mangkuk, masukkan irisan kol, wortel, daun bawang, toge atau bahan apapun itu asalkan masih cocok dan telur-able. Jangan lupa taburi sedikit garam supaya agak berasa. Setelah itu kocok lagi dan masukkan ke wajan dengan cara masak dadar.
Maka, jadilah telur ayam dadar yang lebih "berisi" dan tinggal iris dua bagian. Sudah cocok untuk menu sarapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H