Seorang pria calon penumpang KRL Commuterline tampak menunjukkan secarik kertas kepada petugas di Stasiun Sudirman. Setelah itu suhu tubuhnya diperiksa menggunakan thermo gun. Si pria itu pun bergegas menuju gate elektronik untuk melakukan tap in dengan tiketnya. Tetapi mendadak petugas memanggilnya kembali.
"Pak, pak! Maaf Pak, maskernya harus pakai dobel," ujar petugas.
"Ini nggak boleh?" tanya si penumpang.
"Nggak boleh Pak, masker seperti itu harus dilapisi lagi dengan masker kain, kecuali bapaknya mau pakai masker yang model N95."
Itulah sekelumit suasana di Stasiun Sudirman, Selasa, 4 Agustus 2021, sore hari ketika para pekerja mulai berdatangan ke stasiun untuk kembali ke rumahnya menggunakan KRL Commuterline. Tidak seperti suasana sebelum pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat maupun PPKM Level 4 yang berlaku hingga 9 Agustus mendatang, suasana stasiun dan di dalam KRL Commuterline memang terlihat lebih sepi penumpang.
Namun, sesepi-sepinya KRL Commuterline, jika jam sibuk pulang maupun berangkat kerja, selalu saja terlihat kondisi ketika penumpang harus berdiri. Namanya juga moda transportasi massal nan murah meriah dan cepat.
Aturan yang diberlakukan untuk naik KRL Commuterline selain kewajiban memakai masker ganda atau N95, penumpang juga wajib menunjukkan surat tanda registrasi pekerja (STRP) atau surat tugas dari instansi sektor esensial dan kritikal. Surat tugas itu pun haruslah berupa hard copy lengkap dengan tanda tangan yang berstempel basah.
Ketentuan terakhir ini jelas agak ironis mengingat surat digital dengan tanda tangan elektronik justru tidak berlaku di zaman serba online saat ini. Seorang kawan saya pernah ditolak masuk ke stasiun meskipun sudah menunjukkan surat tugas melalui gadgetnya dengan tanda tangan elektronik yang sah.
Alasan yang saya dengar adalah rawan pemalsuan dan hmmm, ya sudahlah kita ikuti saja aturan yang memang diberlakukan di lapangan.
Setelah lolos pemeriksaan STRP dan surat tugas, penumpang KRL Commuterline bisa saja disuruh berbaris antre lagi jika diminta petugas. Pertimbangannya adalah penumpang yang menunggu di peron sudah terlampau banyak.
Jika peron sudah bersih dengan penumpang yang telah terangkut, maka barisan penumpang yang antre tadi dipersilakan menuju peron untuk menunggu kedatangan kereta selanjutnya.
Peron atau area tunggu sebelum naik kereta, memang diharapkan tidak menjadi tempat kerumunan penumpang. Petugas di Stasiun Sudirman pun selalu mengingatkan melalui pengeras suara agar penumpang bergeser ke arah peron yang masih sepi, tidak berkumpul di satu titik.
Sore itu kepadatan penumpang kereta menuju Bogor memang terpantau terkendali. Tempat duduknya terdapat tanda agar sesama penumpang tidak saling berdempetan ketika duduk.
Demikian pula bagi penumpang yang terpaksa berdiri. Petugas selalu mengingatkan agar mereka tidak saling berdiri berdekatan dan berhadapan.
Walau demikian, namanya juga manusia, tentu ada kalanya penumpang lupa posisi dan menempel satu sama lain. Terutama jika penumpangnya saling kenal.
Aturan lainnya seperti larangan bicara satu sama lain juga relatif dipatuhi, tapi cenderung dilanggar ketika penumpangnya memang satu kelompok atau satu keluarga. Ya begitulah.
Perjalanan dari Jakarta hingga stasiun-stasiun di daerah Bogor bisa memakan waktu kurang lebih 1 jam. Untuk membunuh kebosanan karena larangan bicara, tentu saja memandang layar gadget masing-masing menjadi aktivitas yang terlihat biasa. Jika sudah bosan, tidur adalah solusi terbaik.
Itulah gambaran mereka para pejuang nafkah yang masih harus keluar rumah beraktivitas. KRL Commuterline dengan ongkos murahnya telah sangat membantu sekali untuk menghemat biaya perjalanan pulang pergi ke ibu kota. Tak terbayangkan pula andai KRL Commuterline justru ikut-ikutan berhenti beroperasi selama PPKM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H