Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Makan Maksimal 20 Menit? Sanggup?

26 Juli 2021   16:51 Diperbarui: 26 Juli 2021   16:59 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: twitter @AREAJULID

Hingga 2 Agustus 2021 mendatang, kita masih disuguhi PPKM Level 4 sebagai lanjutan PPKM Darurat. Ada sedikit perbedaan aturan, dan yang paling banyak dibicarakan adalah tentang aturan warung makan, pedagang kaki lima, lapak jajanan, dan sejenisnya yang memiliki tempat usaha di ruang terbuka diizinkan buka dengan protokol kesehatan ketat sampai dengan pukul 20.00. Waktu maksimum untuk makan di tempat juga diatur, yaitu maksimal 20 menit untuk tiap pengunjung.

Hah, 20 menit?

Aturan ini jelas bikin geleng-geleng kepala mereka yang tak terbiasa makan dalam durasi cepat. Tapi, andai ditanyakan ke saya pribadi, saya bakal optimis menjawab "gampang" perihal makan dengan durasi 20 menit.

Apanya yang susah sih? Kalau lauk pauk sudah lengkap beserta nasinya, maka tak sampai 5 menit juga ludes kalau saya mah. Sejauh ini pencernaan saya juga baik-baik saya, tak pernah meronta akibat makan cepat.

Tetap dong, makanan yang masuk ke mulut tetap saya kunyah secara adil dan merata. Nggak langsung bablas ke perut. Tapi terus terang kecepatan mengunyah saya memang bisa diandalkan. Suer deh.

Saking cepatnya saya makan, saya pernah kena tegor mertua di kala pertama kali makan di rumah beliau saat awal-awal pernikahan saya (dengan anak mertua tentunya).

"Lho, makannya kok cepet banget? Nggak doyan ya lauknya? Nggak enak ya masakan saya?" tanya ibu mertua.

Buru-buru saya jelaskan bahwa saya memang punya kebiasaan makan cepat. Bahkan saya sudah ngambil lauk ayam, rendang, terong, jengkol, sayuran, krupuk dan aneka ragam yang dihidangkan di meja.

Ibu mertua saya kemudian melongok ke meja makan. Wajahnya kemudian keheranan menatap saya.

Soal makan cepat ini kadang memang bikin kesal juga. Terutama kalau yang saya makan adalah hasil masakan saya sendiri. Misalnya nasi goreng atau sate kambing kalau pas lagi abis Idul Adha seperti kemarin.

Lha itu masaknya saja lumayan lama bikin pinggang pegel plus badan jadi bau bawang, eh giliran makan kok dalam durasi 5 sampai 10 menit sudah ludes semua.

Well, tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya bukan saya yang makannya cepat. Tapi karena kebanyakan orang memang kelamaan dan banyak ritual kalau lagi makan besar.

Saya tuh saat makan besar ya fokus makan. Paling males kalau sambil ngobrol atau melakukan kegiatan lain seperti sambil mainan henpon atau sambil nyapu lantai.

Ngaku deh, pasti banyak di antara kalian yang nggak bisa makan kalau nggak ada temennya? Serasa hambar rasanya kalau makan nggak sambil ngerumpi.

Banyak kejadian misalnya ketika karyawan makan siang tuh bisa hampir sejam baru kelar, padahal makannya cuma di kantin yang deket. Tentu ngerumpi adalah lauk paling utama yang dinikmati. Renyah dan plong rasanya abis ngomongin bos yang galak.

Saya juga pernah mergoki ada karyawan yang sebenarnya bawa bekal makan siang dari rumah. Eh, bukannya dimakan di ruangan sendiri, dia malah ikut temennya yang makan di warung. Tujuannya ya pengen makan sambil ngobrol aja.

Alhasil dia makan bekal nasi putih lauk telur dadar berhadapan dengan temennya yang pesen nasi rames di warung tersebut. Baru saya sadari, inilah alasan mengapa di berbagai rumah makan sering ada tulisan "dilarang bawa makan dari luar".

Kembali ke kebijakan PPKM Level 4 tentang makan di warung maksimal 20 menit.

Saya yakin aturan 20 menit ini sudah melalui kajian yang komprehensif. Bisa jadi sudah dilakukan ujicoba di warteg tertentu. Ujicoba paling maksimal yang saya bayangkan tentu saja piring diisi kira-kira nasinya porsi jumbo dan lauknya komplet. Kalau perlu pakai sambel paling pedes, karena sambel biasanya meningkatkan nafsu makan.

Udah gitu pesen minumnya teh panas dengan air paling mendidih. Tujuannya untuk ngetes juga apakah dalam durasi waktu 20 menit itu bisa tandas sampai habis. Apakah lidah manusia bisa secara wajar menghabiskannya dalam waktu singkat.

Dan menurut penerawangan saya, ujicoba tersebut dianggap layak dan durasi 20 menit pun mantap untuk ditetapkan sebagai waktu normal seseorang makan di warung.

Tentu saja dengan catatan, yakni enggak pakai ngobrol sama teman, enggak pakai klepas-klepus ngerokok usai makan, enggak pakai kata "terserah" saat ditanya temannya mau makan apa, juga enggak pakai acara nggodain mbak penjaga warteg sambil makan.

Eit, masih ada yang protes?

Jadi orang mbok ya bersyukur gitu loh. Padahal tadinya saat PPKM Darurat malah ngelarang orang nongkrong dan makan di tempat. Ini sekarang sudah boleh makan di tempat kok masih ngeyel?

Maunya itu apa toh Jum?

Kalau memang nggak sanggup makan di bawah durasi 20 menit ya silakan ngebungkus, makan di rumah sepuas-puasnya ampe berjam-jam. Gitu aja kok repot.

Sebenarnya sih kalau mau paham, kita-kita ini memang diajak membatasi diri untuk nongkrong dan berkerumun. Namanya juga masih pandemi kok. Banyak-banyak sabar aja ya gaes...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun