Suatu hari dua anak kecil tengah bermain di jalanan perumahan. Untuk memulai permainan, mereka bersepakat mengundi dengan cara suit.
"Hore, menang aku dong," seru salah seorang anak.
Ia menang karena mengepalkan tangan, sebagai simbol batu. Sedangkan temannya membuat simbol dua jari yang berarti gunting. Batu menang lawan gunting.
Pada babak berikutnya, mereka kembali mengadu tangan.
"Yeee, aku menaang...!"
Kali ini si anak pertama menjulurkan lima jari yang berarti kertas, dan anak kedua kalah karena mengepalkan tangan. Maknanya kira-kira, kertas bisa menang karena bisa membungkus batu.
Seketika itu saya menyadari, betapa berbedanya cara mereka mengundi dengan pengalaman saya waktu kecil. Dulu semasa anak-anak, kami menggunakan cara suit dengan jari telunjuk, jempol dan kelingking. Kata orang-orang, inilah suit cara Indonesia.
Suit yang saya kenal dulu, telunjuk berarti manusia. Jempol berarti gajah, dan kelingking sebagai representasi semut.
Jempol alias gajah jika diadu dengan telunjuk atau manusia berarti menang si gajah. Sebabnya gajah secara fisik sangat kuat dan mampu mengalahkan manusia biasa dengan sekali kibasan belalai atau dengan injakan kakinya yang besar.
Sebaliknya gajah bakal kalah jika ketemu semut atau kelingking karena si gajah bakal kelimpungan jika semut menyerang mata atau telinga si gajah. Beda halnya saat manusia melawan semut, so pasti semutnya keok.
Kini, saya benar-benar kangen cara suit, suwit atau dalam bahasa daerah kami istilahnya ping sut, dengan cara mengadu telunjuk, jempol dan kelingking. Masalahnya, sekarang sepertinya benar-benar sulit menemukan anak-anak kecil yang menggunakan suit cara tersebut.
Bahkan kedua anak saya yang berusia 11 dan 6 tahun, keduanya sama-sama mengaku tidak tahu cara suit tersebut. Mereka selama ini ketika bermain bersama teman-temannya hanya mengenal cara pengundian dengan gunting, batu dan kertas.
Konon suit gunting, batu dan kertas adalah suit cara Jepang. Hebatnya lagi, gunting, batu dan kertas sudah mendunia. Saya tahunya justru lewat film-film bikinan Amerika yang menggambarkan cara pengundian dengan simbol gunting, batu, dan kertas. Eh, juga lewat film Doraemon, ding.
Entah bagaimana bisa anak-anak di Indonesia seolah tidak tahu cara suit lokal semut, gajah, manusia. Jika benar bahwa suit tersebut memang asli Indonesia, alangkah sayangnya jika sampai punah dan tak lagi dikenal.
Hilangnya cara suit dengan simbol semut, gajah, manusia ini bukan hanya terjadi di lingkup permainan di sekitar tempat tinggal anak-anak. Lingkungan permainan di sekolah juga punya andil. Baik saat bermain dengan sesama murid, maupun saat sesi bermain bersama guru.
Dulu sebelum pandemi, saya pernah menghadiri acara di sekolahan anak saya dan ternyata guru yang memimpin permainan juga menggunakan cara pengundian gunting, batu, kertas untuk mengawali sebuah permainan.
Padahal jika guru tersebut mau menggunakan cara suit lokal, ada sisi pembelajaran juga di dalamnya. Ada edukasi menarik tentang makna mengapa semut dianggap bisa mengalahkan seekor gajah yang perkasa. Juga mengapa manusia yang bisa dengan mudah membasmi semut justru bisa kalah andai bertarung tangan kosong dengan gajah.
Nah, bagaimana di lingkungan anda? Apakah anak-anak di tempat anda mengenal cara suit menggunakan simbol semut, gajah, manusia? Atau justru sama sekali tidak tahu?
Hmm, kalau belum kenal, yuk kita coba kenalkan ke anak-anak kita di Hari Anak Nasional, tanggal 23 Juli 2021 ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H