Atas nama pergaulan yang dibalut dengan alasan menjaga kebugaran, muncullah tren bermain futsal dalam dekade terakhir ini. Futsal atau sepak bola dalam ruangan, menjadi tren yang muncul di kalangan pekerja kantoran. Klub-klub kantoran bermunculan, demikian pula ajakan latih tanding.
Memang menyenangkan khususnya bagi bapak-bapak penghobi sepak bola ketika bisa berkumpul, bersenda gurau dan mengeluarkan keringat bersama di lapangan. Futsal menjadi semacam pelarian dari penatnya pekerjaan dan segala urusan hidup yang ribet.
Apalagi saat berhasil mencetak gol, rasanya seperti ada sosok pemain idola yang merasuk dalam diri. Terasa hebat dan menyenangkan.
"Keren kan gol gue mirip Ronaldo," kalau ada yang bilang begini, jawab "iya" saja biar tambah senang.
Ingin menjadi "Ronaldo" di lapangan futsal seolah menjadi kewajaran bagi bapak-bapak itu. Bedanya, andai "Ronaldo" lokal itu menggeser segelas kopi di rumah Pak RW, sudah pasti nggak ada pengaruhnya dengan saham kopi tersebut.
Masalahnya, tidak semua pekerja kantoran, terutama yang sudah berlabel "bapak-bapak" memiliki kemampuan dan level kebugaran yang cukup untuk bermain spartan dalam olah raga futsal.
Permainan futsal butuh intensitas lari yang banyak. Lari untuk naik menyerang ke pertahanan lawan dan kemudian bisa berbalik mendadak untuk bertahan dari serangan lawan.
Belum lagi dalam olah raga ini dipastikan ada kontak fisik yang tidak sedikit. Dijegal lawan, kena sikut, terdorong, hingga benturan kepala sudah menjadi resiko yang harus dinikmati.
"Tenang, kita main santai aja kok. Nggak usah terlalu serius," kata-kata ini biasanya muncul untuk merayu kawan agar mau ikut futsal. Padahal bisa jadi ini adalah kalimat promo yang menjebak. Tujuannya sih sebenarnya cuma nyari pemain pelengkap dan nambahin iuran sewa lapangan saja.
Jika sudah terlanjur berada di lapangan, pemain yang lebih banyak jalan santai daripada lari justru kerap dianggap sebagai beban. Nggak dianggap keren sama sekali saat bermain.
Ya, pada akhirnya nafsu dan emosi bisa menguasai ketika sudah berada di lapangan. Niatnya santai dan cari keringat, tapi karena kebobolan gol melulu akhirnya terpancing untuk membalas. Maka makin kencanglah mereka berlari, makin semangat mengejar bola, dan makin deraslah keringat mengucur.
Kalau sudah begini, nafas bakal tersengal-sengal dan otot-otot mulai mengencang. Bagi yang tidak terbiasa olah raga tapi bersemangat ketika diajak futsal, hal ini bisa berbahaya.
Kesalahan utama bagi pemain futsal amatir ini adalah kurangnya pemanasan sebelum bermain. Rata-rata gaya pemanasan mereka hanya main tendang-tendang bola saja. Gerak-gerak badan sedikit juga sudah dianggap pemanasan.
Beda banget sama pemain bola profesional. Padahal setidaknya jika tidak biasa berlatih dan tidak memiliki trainer, seorang awam bisa mengamati bagaimana pemain profesional melakukan pemanasan sebelum bermain bola. Toh, banyak sekali videonya di YouTube.
Belum lagi mereka yang masih doyan merokok. Menunggu giliran main malah merokok, istirahat jeda sebentar juga merokok. Selesai main juga merokok. Apa dikira kalau merokok sambil keringatan tuh bisa menghapus racun-racun dalam sebatang rokok? Rokoknya jadi healthy gitu ya?
Jangan memaksakan diri bermain
Berkaca dari kejadian atlet profesional yang kolaps saat pertandingan olah raga, mestinya yang amatir dan sangat amatir, menjadi sangat waspada dan bisa mengukur diri saat berolah raga. Berita tentang serangan jantung yang dialami atlet profesional jangan dianggap cerita drama yang seolah-olah tak bisa menimpa kita.
Terlebih olah raga futsal ini memang berat dan umumnya tidak ada pengawasan yang memadai dalam hal penanganan medis. Kabar duka usai bermain futsal bukan lagi menjadi kabar yang mengherankan. Itulah faktanya.
Kuncinya adalah tidak terlalu memaksakan diri. Hanya diri kita sendiri yang paham dengan kondisi tubuh sendiri, bukan orang lain.
Jika di tengah permainan sudah merasa ngos-ngosan, lebih baik berhenti dulu untuk istirahat. Jangan karena enggan dianggap lemah atau karena alasan kurang pemain, sehingga memaksakan diri untuk terus berlari. Bahaya.
Saya sendiri pernah mengalami kondisi luar biasa lelah saat futsal. Nafas terasa pendek dan dada berdebar dengan cepat. Saat itulah saya merasa harus berhenti bermain. Mengatur kembali nafas dan menjaga tubuh kembali rileks. Lebih baik lagi, jika sudah dalam kondisi begini tak perlu lagi kembali bermain, meskipun durasi sewa lapangan masih ada.
Bahkan, sebelum diajak futsal pun semestinya kita juga bisa mengukur diri. Jika merasa sedang tidak fit, atau merasa lelah karena seharian bekerja, lebih baik tidak mengiyakan ajakan main futsal. Terlebih bagi bapak-bapak usia 30 tahun ke atas.
Sudahlah, mending di rumah saja bersama keluarga. Kalaupun butuh olah raga, carilah olah raga yang ringan sesuai kemampuan dan kondisi tubuh.
Ingat, bahaya keseringan futsal bagi bapak-bapak selain ancaman terhadap fisik, juga ancaman dicemberutin istri di rumah. Mungkin main futsalnya cuma 2 jam ditambah 1 jam haha hihi dan 1 jam lagi perjalanan. Tapi setelah sampai rumah, si bapak molor terus seharian karena kecapekan. Siapa yang kesal? Pasti istrinya dong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H