Gara-gara tak ada uang pas saat pembayaran, dan ketiadaan uang kembalian, keributan antara konsumen dengan penjual barang atau penyedia jasa kerap terjadi. Masing-masing pihak biasanya merasa benar, padahal kalau sudah ribut sejatinya semuanya jadi pihak yang bersalah.
Pagi itu saya berangkat kerja naik bus transjabodetabek. Pembayaran ongkos bus masih menggunakan pilihan tunai dan nontunai. Faktanya lebih banyak konsumen yang memilih membayar tunai.
Saat kondektur menarik pembayaran, semula berjalan lancar hingga ketemu satu penumpang yang paling belakangan belum diberi uang kembalian. Ongkos bus adalah Rp25 ribu, penumpang tersebut membayar dengan uang Rp30 ribu, berarti ia berhak uang kembalian Rp5 ribu.
"Maaf Bu, saya kehabisan uang kecil untuk kembalian," ujar kondektur.
"Ya tapi gimana dong Pak? Masak uang saya nggak dikembalikan?" jawab si penumpang.
"Begini aja Bu, saya kasih kertas catatan di tiket, besok ibu bawa pas naik bus ini atau bus transjabodetabek yang lain juga bisa kok buat potongan pembayaran, nggak masalah," terang kondektur.
"Saya besok nggak naik ini lagi Pak, tolong ya kasih kembali uang lima ribu saya!"
Tensi makin memanas, keduanya seolah makin terbawa emosi.
Keributan gara-gara polemik uang pas dan uang kembalian ini jamak terjadi di sekitar kita. Terlebih di lingkungan yang masih belum bisa mengandalkan pembayaran nontunai.
Bahkan seperti ojek online yang sebenarnya tersedia pembayaran nontunai pun tak luput dari kejadian seperti itu. Tempo hari bahkan sempat viral terjadi keributan antara ojol dengan konsumennya gara-gara tidak ada kembalian saat memesan bakso via aplikasi ojol.