Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mau Dibawa ke Mana Nasib Ondel-ondel?

29 Maret 2021   21:40 Diperbarui: 30 Maret 2021   05:04 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu sore di tengah bising dan padatnya Jakarta, alunan musik terdengar makin keras menyayat-nyayat keluar dari sound system yang ditarik dengan gerobak kecil. Hampir semua orang yang hidup di kerasnya ibu kota akan paham, bahwa musik itu pertanda datangnya ondel-ondel.

Benar saja, boneka ondel-ondel itu berjalan sambil goyang-goyang menyusuri pinggiran jalan raya. Dua orang rekannya, mengambil posisi berseberangan jalan. Sambil menenteng ember bekas cat, mereka bertugas meminta uang dari orang-orang yang mereka lalui.

"Bang! Kasihan Bang," ujar seorang anak pembawa ember mendekati saya.

Saya menggeleng, memberi tanda jika saya tidak memiliki uang untuk mereka. Namun bukannya segera pergi, anak kecil yang saya perkirakan berumur dua belasan tahun itu masih memaksa saya.

"Bang! Buat makan Bang!" ujarnya lagi.

Kali ini pun saya kembali menolak permintaannya dengan lebih tegas sambil memberi tanda dengan tangan. Baru setelah itu anak itu berlalu dan mendatangi orang lain. Dari kejauhan, gaya meminta-mintanya terlihat sama, sedikit memaksa orang.

Tak hanya sekali itu saya menemui pengamen ondel-ondel yang meminta uang dengan gaya memaksa, tapi beberapa kali. Makanya sekarang jika kira-kira bakal kedatangan ondel-ondel and the geng, mendingan saya menghindar terlebih dulu.

Keresahan masyarakat terhadap ondel-ondel di jalanan, memicu Pemprov DKI Jakarta untuk mengeluarkan kebijakan melarang ondel-ondel turun ke jalan untuk mengamen. 

Selain itu, ondel-ondel yang berjalan di tengah keramaian lalu lintas juga berpotensi menimbulkan kemacetan hingga kecelakaan apabila ada kendaraan yang menyenggol sang boneka raksasa itu.

Namun, hal pokok yang mendasari Pemprov DKI mengeluarkan larangan tersebut adalah alasan untuk mengembalikan ondel-ondel sebagai warisan budaya khas Betawi yang harus ditempatkan dan diapresiasi dengan baik. 

Keberadaan ondel-ondel mengamen di jalanan dianggap sudah menjatuhkan nilai sebuah ikon budaya.

Kabar pelarangan ondel-ondel turun ke jalan untuk mengamen itu telah santer terdengar sejak sepekan belakangan. Namun jika kita menilik ke beberapa tahun belakang, wacana pelarangan ondel-ondel mengamen di jalanan sudah sering timbul tenggelam.

Kini kebijakan yang tengah gencar disosialisasikan ini ditambah dengan embel-embel janji Pemprov DKI yang akan mencarikan tempat bagi pengamen ondel-ondel. 

Dinas Kebudayaan setempat disinyalir telah memiliki konsep yang tepat sebagai solusi bagi mereka yang sebelumnya memanfaatkan ondel-ondel untuk mengamen.

Bagus sih niatnya, tapi konsep seperti apa tepatnya, tampaknya Pemprov DKI masih belum mau blak-blakan.

Pengamen ondel-ondel (foto: widikurniawan)
Pengamen ondel-ondel (foto: widikurniawan)
Sebagai anggota masyarakat yang terganggu dengan keberadaan pengamen ondel-ondel, tentu saja saya mendukung kebijakan ini. Namun, di satu sisi banyak pertanyaan mengemuka tentang hal itu.

Bagaimana nasib ondel-ondel pada masa mendatang di Jakarta? Apakah memang bisa kembali menjadi ikon budaya yang memberi keriangan bagi masyarakat alih-alih justru menakutkan karena sering minta duit?

Ondel-ondel yang tampak menyenangkan kini hanya ada di pintu-pintu gerbang perkantoran di wilayah DKI Jakarta. Itupun karena tidak ada orang di dalam tubuh boneka raksasa itu. Sosok ondel-ondel hanya diam saja berdiri menyambut para tamu datang.

Ah, tidaklah asyik kalau cuma begitu.

Dulu ondel-ondel kerap eksis di pentas hajatan sunatan hingga perkawinan adat Betawi. Mungkin dan sudah seharusnya, sekarang ini saatnya ondel-ondel kembali ke sifatnya sebagai sebuah seni pertunjukan yang memberikan hiburan bagi masyarakat. Bukan sebagai alat pendulang uang dengan menebar sedikit paksaan.

Tapi sebentar deh..., itu kan wacana di wilayah DKI Jakarta.

Wahai apa kabar dengan pengamen ondel-ondel yang marak hampir tiap hari menyusuri jalanan di wilayah Bogor, Depok hingga Bekasi?

Satpol PP DKI Jakarta kan tidak punya kewenangan menindak para pengamen ondel-ondel di luar Jakarta. So, sejauh kebijakan ini hanya berlaku khusus di daerah Jakarta saja, maka cita-cita mulia untuk mengembalikan ondel-ondel sebagai warisan budaya khas Betawi jelas masih jauh bakal terwujud.

Betawi bukanlah suatu wilayah dan tak hanya ada di Jakarta saja. Faktanya masyarakat Betawi tersebar di berbagai wilayah penyangga Jakarta, yakni di Bodetabek. 

Ondel-ondel masih akan dicap negatif jika kebijakan mengembalikan ondel-ondel ke ranah seni dan tradisi tidak berlaku di semua daerah. 

Bahkan anak-anak di lingkungan rumah saya, di daerah Bogor, selalu lari berhamburan untuk bersembunyi dan masuk ke rumah masing-masing jika mendengar musik pengiring ondel-ondel. 

Ada yang takut dimintai uang, ada pula yang memiliki pemahaman ekstrim bahwa ondel-ondel yang datang bisa saja menculik anak-anak.

Nah lho, stigma negatif ondel-ondel tampaknya sudah sedemikian parahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun