Kalian yang kalau ketemu teman lalu foto bareng mirip pose Raffi, Gigi, Anya dan kawan-kawan itu. Juga yang ngakunya pekerja kantoran tapi masih suka meeting dalam satu ruangan dan lanjut foto bareng tanpa jaga jarak dan bahkan tanpa masker. Foto itu lalu diupload di medsos dengan caption ngomongin kerjaan yang seolah-olah paling penting di dunia.
Kalian yang pas liburan sangat antusias pergi ke Puncak atau jalan-jalan ke daerah wisata lainnya. Seolah-olah pakai masker padahal posisinya cuma nangkring di dagu atau malah maskernya gelantungan di salah satu kuping kalian. Itu masker atau anting-anting, hei?
Kalau keseharian kalian masih gitu-gitu dan selalu abai protokol kesehatan, ya ngapain coba ikut koar-koar menghujat Raffi Ahmad? Itu sama saja kalian berdiri di depan cermin sambil nunjuk-nunjuk muka sendiri.
Malu ah.
Coba direnungkan dalam-dalam. Betapa Raffi mirip banget kelakuannya dengan sebagian besar masyarakat. Takut pandemi kadang cuma di mulut saja, tapi perilakunya covid-able banget. Raffi adalah kita, masyarakat biasa yang abai.
"Raffi" pun ada di mana-mana. Di perkantoran, di kampus, di pasar, di jalanan, di tongkrongan dan masih banyak lagi.
Jadi kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga menunjuk dia jadi perwakilan milenial sebagai penerima vaksin. Coba deh kalau Raffi enggak berbuat aneh-aneh gitu usai divaksin? Bisa jadi masyarakat juga enggak dapat edukasi dan contoh yang tepat bahwa usai divaksin pun seseorang harus tetap menjaga protokol kesehatan.
Buktinya gara-gara kasus Raffi kemudian banyak yang bertanya-tanya.
"Emangnya kalau udah divaksin masih harus pakai masker?"
Tuh kan, pertanyaan lugu tersebut masih berserakan. Membuktikan bahwa edukasi tentang vaksin dan pandemi masih belum merata. So, berterima kasihlah pada Raffi Ahmad, dia bekerja sebagai influencer dengan sangat baik dan riil.
Nah tapi, emangnya nggak boleh mengkritik Raffi, kan dia emang berbuat nggak bener?