Sekitar dua belas tahun yang lalu, sebuah perbincangan yang diwarnai haru dan isak tangis menjadi salah satu penanda sejarah dalam keluarga kami. Saya dan istri sepakat dengan kesimpulan yang dilematis, yaitu ketika saya harus berangkat mengemban tugas di seberang pulau yang jaraknya ribuan kilometer. Bersamaan dengan itu, dengan kondisi saat itu yang sedang hamil tua anak pertama kami, istri saya memutuskan untuk berhenti bekerja.
Selanjutnya yang kami alami adalah sebuah hubungan keluarga jarak jauh. Istri dan anak pertama kami yang masih bayi, tinggal bersama mertua saya. Sedangkan saya harus bekerja nun jauh di sana dengan durasi kepulangan 2-3 bulan sekali.
Sebuah situasi yang tidak ideal sebagai keluarga. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan kami untuk melangkah ke depan. Bukan hal yang mudah, terutama bagi istri saya. Kondisi saat itu tentu saja diwarnai pasang surut emosi. Pandangan dari lingkungan sekitar bahkan keluarga sendiri, masih sibuk mempersoalkan tentang kepatutan seorang sarjana yang melewatkan usia emas untuk meniti karier di luar rumah.
Masa-masa berat harus dilalui. Tanpa suami di dekatnya, istri saya menjalankan peran ibu dengan nilai maksimal di mata saya. Ia memberikan ASI eksklusif dengan baik, sebagai upaya memberikan yang terbaik di awal kehidupan anak kami. Hal itu seiring pendidikan yang ditanamkan sejak dini.
Mengajarkan mengucap kata, melatih berjalan, mengajak bernyanyi, adalah hal-hal yang sejak dini dilakukannya. Terkesan sederhana, mudah dan memang sudah menjadi kewajiban seorang ibu. Tapi dengan kondisi saat itu berjauhan dengan suami, tentu ada tantangan tersendiri.
Seorang ibu juga bisa lelah dan terkadang merasa kurang bersemangat. Ada hal-hal yang bisa tak sesuai harapan dan tidak diprediksi sebelumnya. Namun, pada akhrnya ia melaluinya dengan baik.
Bahkan ketika saya belum berpikir jauh tentang bagaimana bentuk pendidikan formal maupun nonformal bagi anak saya, istri saya sudah punya rencana-rencana yang dipaparkan kepada saya dan kemudian kami diskusikan bersama. Pendidikan adalah salah satu tema utama dalam keluarga kami, tetapi bukan berarti kami memaksakan segala sesuatunya untuk mendapatkan bangku sekolah bagi anak kami.
Sebagai contoh, usia ideal untuk masuk SD yang kami sepakati harus sudah di angka 7 tahun. Meskipun anak-anak di sekitar kami kurang dari 7 tahun sudah bisa duduk di kelas 1 SD.
"Dulu aku umur 4,5 tahun sudah bisa baca dan masuk SD, makanya pas SMA rasanya bosan sekolah, pusing..." cerita istri saya.
Ya, pengalaman adalah hal yang berharga. Bagaimanapun saya beruntung memiliki istri yang memahami seluk beluk pendidikan dan fokus menerapkannya dalam pendidikan di rumah.
Hingga akhirnya saya kembali bisa bekerja di Jakarta dan kami tinggal bersama lagi dalam satu atap. Kehadiran si bungsu yang berjarak 5 tahun dengan kakaknya, melengkapi keluarga kami.