Tiap kali libur panjang dikit tiba, kawasan Puncak, Bogor pasti macet. Padahal cuma libur panjang dikit ya? Gimana kalau panjang banget?
Nah, akhir Oktober ini liburan yang boleh dibilang termasuk panjang akhirnya tiba juga. Tanggal 28 dan 30 Oktober di antara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ditetapkan oleh pemerintah sebagai cuti bersama. Netizen dan media mainstream pun ramai mengabarkan tentang macetnya perjalanan ke Puncak.
Banyak yang bertanya-tanya "ada apa sih di Puncak?" Juga keheranan senada yang ditunjukkan dengan komentar "ngapain sih mau-maunya ke Puncak kena macet?"
Hmm, ya pasti sih yang kena macet tuh sebenarnya nggak ingin macet juga. Tapi ya bagaimana gaes, demi liburan yang waktunya nggak datang tiap saat. Demi memenuhi permintaan anak-anak yang terus merengek pergi liburan. Juga demi instastory dan update status di berbagai platform media sosial. Ya kan?
Lalu kenapa harus Puncak? Kenapa bukan tempat lain?
Ya memang harus diakui, Puncak adalah magnet. Puncak dengan hawa sejuknya punya segalanya sebagai tujuan wisata. Kecuali satu yang tidak dipunya Puncak, yaitu perjalanan anti macet.
Ada bermacam tempat wisata menarik di kawasan itu, sebut saja Taman Safari Indonesia dan berbagai wisata alam mulai dari curug, telaga, bukit hingga agro wisata. Didukung oleh banyaknya hotel, villa serta penginapan dari yang mahal hingga yang ecek-ecek. Semua ada gaes.
Lokasi yang tak terlalu jauh dari Jakarta membuat kawasan Puncak menjadi pilihan favorit. Meskipun pada akhirnya perlu direnungkan juga makna "tidak terlalu jauh" tapi pada kenyataannya kena macet berjam-jam selama perjalanan.
"Duh, hampir 12 jam dari Jakarta ke Puncak," keluh seorang rekan yang sempat berwisata ke Puncak beberapa pekan lalu.
Tapi kalau ditanya kenapa masih saja mau ke Puncak kalau selalu macet? Jawabannya bisa beda-beda. Bisa saja ada sekian persen dari peserta kemacetan itu adalah para suami yang sebenarnya dipaksa keadaan karena jika tidak pergi berlibur terancam tidur di sofa.Â
Ngomongin soal dompet, di satu sisi saya juga bersyukur bahwa para pelaku usaha di kawasan Puncak bakal ketiban rejeki yang memang mereka nantikan. Dari tukang cilok pinggir jalan, penjaga villa, tukang parkir hingga pengusaha hotel bakal senang dengan kedatangan wisatawan ke Puncak. Dompet mereka bakal terisi lagi dong.
Soal ancaman pandemi? Ah, tinggal pakai masker dan bilang sudah menerapkan protokol kesehatan pasti aman. Eh.
Saya sendiri saat ini dan kemungkinan libur panjang di akhir tahun, tidak merencanakan suatu kegiatan perjalanan wisata. Meminjam istilah istri saya, tahun ini adalah tahun keprihatinan. Nggak perlu piknik dulu meskipun tiap hari pusing dan bosan.
Saya sih woles saja melihat orang-orang yang pergi liburan. Mangga, silakan. Semoga pulang dalam keadaan sehat walafiat dan stress karena pandemi jadi hilang.
Saya tahu kok, namanya liburan, namanya piknik pasti tujuannya demi menjaga diri agar tetap waras. Refresing gitu loh. Tapi ya nggak tahu juga kalau kena macet saat pulang pergi liburan itu bisa tetap bikin fresh atau tidak.
Dalam perspektif orang yang kena macet, mereka juga gusar kenapa sih banyak orang lain yang punya tujuan sama dengannya? Kenapa bukan hanya dia seorang saja yang pergi ke Puncak gitu loh. Ya kali kawasan Puncak itu milik engkongnya yang sultan.
Sudahlah, cukup. Saya harap netizen yang nyinyir pada situasi macet menuju Puncak bisa lebih bijak menyadari bahwa itu pilihan mereka. Hak masing-masing mau liburan atau ngejogrok aja di rumah. Ambil sisi positifnya, masih banyak orang yang belum kehabisan uang di situasi yang katanya makin sulit ini. Itu juga pakai duit mereka (semoga), yang harapannya tentu bisa membawa rejeki bagi masyarakat di kawasan Puncak.