Menjelang era new normal, kesiapan pelaksanaannya dalam moda transportasi KRL Commuterline masih menjadi tanda tanya besar.
Sebagai warga Jabodetabek berkantong cekak, KRL Commuterline adalah transportasi utama saya menuju tempat kerja. Sudah lebih dari enam tahun saya rutin menggunakannya tiap hari, pagi dan sore atau malam. Maka kepadatan penumpang dalam KRL yang sampai membuat penumpang saling dorong, saling injak, saling sikut dan adu fisik lainnya sudah kenyang jadi makanan sehari-hari.
Kalau kondisinya barbar gitu, kenapa nggak naik kendaraan pribadi saja atau sepeda motor?
Well, pertama, mobil pribadi saya masih teronggok dalam mimpi. Artinya hanya ketika saya tidur maka saya akan lebih dekat dengan impian, eh mimpi tersebut.
Kedua, resiko masuk angin lebih besar jika saya berangkat kerja tiap pagi menggunakan sepeda motor dengan jarak kurang lebih 50 kilometer. Total pulang pergi adalah 100 kilometer, yang bahkan Google Maps saja tidak merekomendasikan pakai sepeda motor untuk rute yang saya lalui. Atau jangan-jangan Google kasihan sama saya jika harus menglaju pakai Astrea Grand keluaran 91 yang sudah bolak-balik bengek keluar masuk bengkel.
So, KRL Commuterline adalah pilihan terbaik dan apa mau dikata, karena moda lain seperti bus dari Cibinong ke daerah Blok M sangat terbatas dan hanya ada di pagi hari saja dengan ongkos yang tidak ramah di kantong.
Faktanya, ada ribuan orang lainnya yang bernasib seperti saya. Tiap hari berjibaku dengan ganasnya kepadatan di dalam kereta. Bahkan ada anekdot yang mengatakan jika sesungguhnya perjuangan terberat mencari nafkah itu terlihat nyata saat berada dalam KRL Commuterline, sedangkan saat di tempat kerja tidaklah seberat itu.
Menuju New Normal
Beberapa hari lalu Presiden Joko Widodo meninjau Stasiun MRT Bundaran HI untuk ngecek kesiapan new normal. Saya yakin hasilnya pasti oke punya karena memang sarana dan prasarana serta manajemen MRT sudah cukup memuaskan.
Tapi pertanyaannya, sudah adakah yang meninjau dan ngecek kesiapan KRL Commuterline? Sebab mau dibandingin dengan MRT atau transajakarta sekalipun, sangat berbeda jauh nuansanya.