Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jelang New Normal, Mana Penghargaan bagi Kaum Rebahan?

26 Mei 2020   20:21 Diperbarui: 26 Mei 2020   20:40 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat awal pandemi Covid-19, kampanye #stayathome dan #dirumahaja sangat gencar digaungkan. Bahkan ada yang beranggapan kaum rebahan kali ini mendapat kesempatan untuk berbakti demi bangsa dan negara dalam rangka perang melawan corona.

Kaum rebahan yang sangat ahli tidur, nonton streaming film, youtuban, instagraman, twitteran, fesbukan dan baca sekaligus ketik komentar di media sosial, dianggap (atau menganggap dirinya) bak pahlawan. Mereka (dan saya) tidak keluar rumah kecuali untuk keperluan sangat mendesak terkait beli bahan makanan dan obat-obatan.

Sekilas sih enak kerjanya, tapi sesungguhnya tak seindah yang dibayangkan. Terutama karena pemasukan berkurang atau malah tidak ada, maka saldo tabungan pun tiap hari makin berkurang. Stay at home menjadi aktivitas yang mantab alias makan tabungan.

Kini menjelang diberlakukan protokol new normal, peran kaum rebahan seolah dilupakan. Nggak ada lagi yang bangga koar-koar memakai hashtag #stayathome atau #dirumahaja. 

Usai lebaran ini justru bermunculan ungkapan-ungkapan curhat kaum rebahan dan mereka yang merasa direbahkan, bahwa mereka sebenarnya memang sudah kangen nge-mal. Kangen pula nongkrong di kafe. Lebih ekstrem lagi, ada yang kangen desak-desakan di dalam KRL Commuter Line.

Hmm, kalau saya mah nggak kangen, tapi kalaupun minggu depan terpaksa terjebak dalam kepadatan penumpang di dalam KRL tuh pastinya bukan implementasi dari rasa kangen. Tapi terpaksa karena keadaan. Huh.

New normal tentu saja beda dengan new era, karena itu merk sepatu dan sandal.

Protokol new normal memang harus dicoba, walaupun taruhannya berat. Bagaimanapun kondisi pandemi begini kebijakan coba-coba dan gonta-ganti adalah hal wajar dan dimaklumi (kalau pendapat saya lho ya). Silakan tanya Donald Trump kalau nggak percaya.

Hanya saja menjelang new normal berlaku, apa yang terjadi dengan kaum rebahan atau mereka yang jarang rebahan tapi kerja keras dari rumah? Mana penghargaan dan penghormatan kalian wahai kalangan yang sudah merindukan main ke mal dan nonton bioskop di twenty one?

Kalau dianggap ini sudah masa kelulusan (walau sebenarnya kurang tepat karena masih ada corona menghantui), lalu mana sekedar sambutan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya bagi yang sudah rela ngejogrok bae di rumah? Nggak ada ya? Nah, apalagi piagam penghargaan kali ya? Pasti nggak ada, wong bansos aja kerap salah kamar.

Yo wis, nggak perlulah itu semua. Mereka (dan saya) nggak perlu gitu-gitu juga kok. Cuih... apaan tuh penghargaan atau gelar pahlawan segala? Nggak penting.

Tapi tolong ya, jangan sampai mereka (dan saya) yang sudah terlanjur gagap dengan dunia luar malah jadi santapan empuk kalian di masa new normal. Mereka kaum rebahan (dan saya) yang terbiasa jaga jarak dan tidak berkerumun, jangan pula didekat-dekati dan diajak ngumpul karena merasa situasi sudah normal (dengan embel-embel "new").

Jangan pula mereka (dan saya) disindir-sindir kayak makhluk baru keluar goa yang selalu parno dan waspada ketika ada orang mendekat dan ngajak bicara. Ya, karena mereka (dan saya) memang selalu mencurigai orang lain membawa virus corona. Mau sodara sendiri, mau teman dekat atau tetangga sebelah rumah sekalipun, pokoknya tanpa pandang bulu dalam tiga bulan ini selalu saya (dan mereka) curigai sebagai tersangka pembawa virus, titik.

Ingat ya, new normal bukan akhir segalanya. Jangan bersorak wahai kalian yang kegabutannya akhirnya mendapat sedikit angin segar.

Bersyukurlah bagi kalian yang memang bakal punya kesempatan mencari nafkah kembali. Itu kelompok yang paling harus didukung, bukan kelompok yang sudah tidak sabar lagi membelanjakan bansos untuk beli baju baru di mal. Bukan, itu beda.

Bagaimanapun new normal harus dihadapi. Kalau gagal dan perlu diganti model baru, gampang saja kok. Ibarat kebiasaan saya kalau ngasih nama file di komputer yang kemudian kena revisi berulang-ulang.

Semula nama file adalah "normal", setelah direvisi jadi "new normal", eh ada perbaikan lagi filenya dikasih nama jadi "new normal edit". Belum beres juga? Tenang, masih ada nama "new normal edit baru" lalu "new normal edit baru paling new", dan seterusnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun