Polemik perbedaan istilah mudik dan pulang kampung rasanya sudah membosankan untuk dibahas. Nah, sebelum lanjut lebih jauh, di artikel ini saya hanya fokus menggunakan istilah mudik, bukan pulang kampung.
Bedanya sih jelas banget, kalau mudik tuh perjalanan singkat yang bakal balik lagi alias PP. Sedangkan pulang kampung ya cuma sekali jalan, abis itu udah deh, stay lagi untuk menetap di kampungnya.
---
Mudik bagi saya selalu saja menjadi perjalanan yang penuh cerita dan jujur saja selalu dinanti. Namun, tidak selamanya juga dalam hidup ini saya berhasil mewujudkan keinginan untuk mudik.
Dulu, ketika sempat merantau di Pulau Sulawesi, demi pekerjaan saya meninggalkan isteri dan anak yang tinggal bersama mertua saya di Kota Depok. Sedangkan orang tua kandung saya sendiri ada di Temanggung, Jawa Tengah.
Dalam periode itu, ada satu momen lebaran tatkala saya tidak bisa mudik. Berbagai alasan mendasarinya, dan salah satunya karena harga tiket PP yang luar biasa mahal bagi saya, belum lagi jika ditambah biaya lain-lainnya.
Sedih? Tentu saja. Apalagi merasakan lebaran sepi sendiri tanpa sanak saudara di rantau dan hanya berteman dengan cicak dan nyamuk di kontrakan sempit yang berdebu. Sudah pasti nelangsa lah. Terlebih lagi waktu itu belum ada video call WA atau aplikasi macam zoom.
Ketika berangkat shalat Ied, saya melangkah sendirian tanpa keluarga tersayang. Sementara di sekeliling saya orang-orang dengan senyum mengembang saling bergandengan tangan dengan orang-orang tercinta. Saat itu rasanya pengen mewek, tapi ya sudahlah...
Nah, saat saya sudah berhasil berkumpul dengan anak dan isteri kembali dengan bekerja di ibu kota, polemik mudik dan tidak mudik ternyata masih hadir setiap tahun. Ya, bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki pasangan yang berbeda jauh kampung halamannya, tentu paham tentang hal ini. Biasanya solusi yang diambil adalah bergantian tujuan mudiknya tiap tahunnya. Tahun ini di kampung suami, tahun berikutnya di kampung isteri.
Namun, dalam kondisi normal, situasi di atas sebenarnya masih bisa dikatakan mudik, walau bukan ke tempat orang tua kandung kita. Nah, kalau sekarang? Situasi pandemi Covid-19 saat ini jelas tidak dianjurkan untuk mudik ke manapun, kecuali rumah orang tua kita hanya berbeda RW saja.
Bagi keluarga saya, tahun ini sudah legawa untuk tidak berlebaran ke manapun. Meski rumah mertua saya cuma sebelahan wilayah, saya di Kabupaten Bogor dan mertua di Kota Depok, tapi situasi zona merah membuat kami sadar untuk tidak melakukan mudik lokal ke Depok. Bahkan ibu mertua saya sendiri yang melarang kami.
"Sudah, ndak usah ke sini lebaran, ngeri ah kalau ke mana-mana," ujarnya.
Ucapannya senada dengan ibu kandung saya yang tinggal di Temanggung. Jauh-jauh hari sudah meminta saya dan keluarga untuk tidak mudik. Bahkan secara berkala ibu saya mengabarkan situasi di kampung halaman bahwa pendatang atau pemudik tidak akan leluasa masuk karena selalu diawasi. Pertama di perbatasan daerah, berikutnya bahkan di gerbang RT sudah ditutup aksesnya.
"Kalau mau ke masjid juga dibatasi khusus warga setempat, pendatang ndak boleh. Ya percuma misal mudik ke sini tetap ndak bisa sholat Jumat dan sholat Ied juga," kata ibu saya.
Bagaimanapun saya harus mendengarkan kata ibu saya. Tapi sebenarnya alasanya tidak mudik adalah karena kami saling peduli satu sama lain. Virus corona tak bisa kita lihat dengan mata telanjang dan mungkin saja kita merasa sehat tapi malah ditumpangi virus laknat tersebut saat di perjalanan.
Perjalanan jauh mudik tentu harus melewati bandara, terminal, stasiun atau akses jalan tol jika menggunakan kendaraan pribadi. Tentu saja ada kemungkinan kita menggunakan fasilitas umum secara bersama macam toilet umum, mampir ke rumah makan dan sebagainya. Tempat-tempat seperti itulah yang sangat rawan menjadi sarang virus jika digunakan oleh banyak orang dari berbagai daerah.
Inilah yang kemungkinan menjadi penyebab beberapa kejadian orang merasa sehat dan baik-baik saja sebelum berangkat mudik, eh sampai di kampung halaman saat dites malah positif. Ya kali mereka punya alat "pintu ke mana saja" milik Doraemon sehingga nggak perlu mampir ke mana-mana saat mudik.
Tidak mudik saat lebaran bukanlah hal yang perlu ditangisi apalagi diratapi. Cemen ah kalau gitu doang mewek.
Ingat, setiap tahunnya sebenarnya banyak sekali saudara-saudara kita yang bahkan tidak pernah mengenal  mudik dan berlebaran bersama keluarga tercinta. Mereka adalah orang-orang yang berprofesi di garda depan pelayanan, seperti polisi, tentara, petugas perhubungan, sopir angkutan umum antar kota antar provinsi, masinis dan pekerja di stasiun, para pekerja di bandara, para tenaga medis, jurnalis dan pekerja di perusahaan media, petugas PLN yang memastikan listrik tidak padam saat lebaran, karyawan toko ritel, dan masih banyak lagi.
Jadi persoalan tidak mudik tuh sebenarnya biasa saja dan wajar. Banyak orang sudah terbiasa tidak mudik. Terlebih lagi bagi penduduk asli yang memang tidak merantau, memangnya mau mudik ke mana bos?
So, lebih baik tahun ini kita bulatkan tekad untuk #JanganMudikDulu. Tunjukkan empati kita khususnya kepada para tenaga medis yang masih harus berjuang mengobati mereka yang terkena Covid-19. Tunjukkan rasa sayang kita pada keluarga dan orang tua di kampung halaman dengan tidak mudik. #JanganMudikDulu atau menyesal kemudian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H