Imbauan untuk melakukan padusan di rumah saja inilah yang sebaiknya dimanfaatkan untuk mengembalikan padusan ke makna yang sebenarnya. Padusan bukanlah tradisi yang buruk dan bertentangan dengan ajaran agama Islam, jika memang dilakukan sendiri untuk menyucikan diri seperti halnya kegiatan mandi besar.
Ini seperti yang pernah saya lakukan saat masih kecil, ketika orang tua saya justru tak pernah mengajak anak-anaknya padusan ke tempat wisata, malah menyuruh padusan sendiri di kamar mandi. Padahal teman-teman saya waktu itu, juga tetangga kanan kiri, sudah heboh berbondong-bondong melakukan padusan di tempat wisata.
Pertanyaan yang kerap saya terima waktu itu adalah "sudah padusan belum?" yang akan saya jawab "sudah". Jika muncul lagi pertanyaan lanjutan "padusan di mana?" dan jawaban saya adalah "di kamar mandi", maka tak jarang respon yang muncul adalah tertawaan.
"Ndak enak lah di kamar mandi, ndak seru itu," ungkap mereka.
Tapi ternyata bagi saya padusan dalam kesendirian, sambil menyadari jika esok hari adalah permulaan Ramadan justru membuat saya berusaha untuk mensucikan badan sebersih-bersihnya. Jika di hari biasa rasanya malas menggosok tubuh sampai benar-benar bersih, di momen ini orang tua saya justru selalu menyodorkan segenggam batu kali untuk menggosok tubuh agar daki-daki berguguran.
Saat mandi itulah kita sambil merenungkan dan memantapkan diri untuk melakukan ibadah puasa di bulan Ramadan sebaik-baiknya. Berharap ketika Ramadan, kita menjadi bersih kembali dari dosa-dosa, sebagaimana tiap guyuran air di badan kita yang membersihkan diri dari setiap kotoran.
Seusai mandi rasanya segar sekali, badan terasa ringan dan bersiap untuk shalat tarawih di malam harinya.
Itulah sisi positifnya padusan yang saya rasakan. Membersihkan diri sekaligus sebagai penanda kesiapan jiwa dan raga menghadapi bulan Ramadan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H