Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Menjaga Lisan, Menjaga Jemari

17 Mei 2020   04:10 Diperbarui: 17 Mei 2020   04:32 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Setiap hari, ketika bangun dari tidur tangan kita otomatis mencari letak smartphone. Mungkin tidak semua orang demikian, tapi fenomena ini harus diakui semakin banyak dilakukan orang. Ketika smartphone tersebut kita pegang, media sosial adalah tempat tujuan utama untuk browsing dan scrolling.

Secara fisik mungkin kita terlihat diam, tak berbicara sepatah kata pun. Namun jari-jemari kitalah yang mewakili mulut untuk mengungkapkan segala macam ekspresi melalui media sosial, dan itu yang dibaca oleh banyak orang di luar sana.

"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata yang baik atau diam." (HR: Bukhari)

Membaca sekilas link-link berita yang dibagikan oleh kawan maupun akun-akun yang kita ikuti. Di bawahnya selalu saja ada kolom komentar yang menarik untuk dibuka, dibaca dan bahkan membuat kita ingin mengatakan sesuatu.

Ya, bahkan hanya dengan membaca sekilas judul sebuah link berita atau artikel, kita sudah merasa mampu menyimpulkan keseluruhan informasi yang ada di dalamnya. Tak pelak, seringkali kita sulit menahan diri untuk tidak terbawa emosi. Selanjutnya, jari-jemari kita pun tergerak untuk mengetikkan komentar bernada nyinyir, merendahkan, menuduh dan persepsi negatif lainnya.

Ujung-ujungnya, tindakan kita yang tidak berhati-hati dan teliti saat memandang suatu permasalahan bisa berakibat pada fitnah. Apa yang kita simpulkan, apa yang kita tuliskan ternyata sia-sia belaka dan lebih banyak mengandung mudharat.

Berdebat tanpa ujung pangkal di media sosial tentang suatu perkara, hanya akan berakhir sia-sia saja. Apa yang kita pertahankan dan apa yang kita serang, bahkan belum tentu bakal mengubah suatu fakta yang terjadi.

Sebegitu sulitnyakah mengambil posisi diam ketika ada berita yang menghebohkan? Haruskah kita ikut menulis komentar ketika pendapat pribadi kita sebenarnya sudah ditulis oleh ratusan orang lainnya?

Sobat sekalian yang berbahagia, dalam salah satu hadist lain yang berkaitan, disebutkan bahwa "keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan." (HR: Bukhari)

Yuk kita renungkan bareng-bareng.

Lisan kita tak hanya berupa ucapan yang meluncur dari bibir kita. Era modern saat ini, lisan bisa saja tulisan kita yang digerakkan jari-jemari kita.

Selain komentar-komentar di media sosial seperti Instagram maupun Facebook, bisa jadi kita sering memasang status di banyak platform media sosial yang bernada kurang bijak. Tak jarang apa yang kita tuliskan dan kita bagikan adalah sesuatu yang tanpa disengaja dapat menyakiti perasaan orang lain.

Ambil contoh, suatu ketika Fulan memasang status WhatsApp untuk menyalurkan perasaannya saat itu.

"Salah satu peran terpenting dari Corona adalah saat Liverpool terancam gagal juara lagi."

Mungkin sekilas terlihat tidak penting, apalagi bagi yang tidak suka atau tidak mengikuti perkembangan sepak bola. Tapi benarkah Fulan hanya sekedar asal menulis? Sekedar becanda saja?

Tidakkah di benaknya terbersit suatu keinginan untuk mengolok rekannya yang notabene penggemar Liverpool. Apakah Fulan sudah memastikan di kontak WA-nya tidak ada kawan yang merupakan penggemar Liverpool?

Lebih jauh lagi, karena Fulan menyinggung tentang virus Corona dan dia mengatakannya seolah dia senang dengan adanya virus tersebut. Ada kemungkinan hal itu juga akan menyakiti hati rekan-rekannya yang terdampak oleh virus tersebut. Mungkin saja dalam kontak WA Fulan ada yang merupakan tenaga medis, atau mereka yang keluarganya sakit karena virus tersebut.

Menulis status yang niatnya sepele macam inilah yang akan menjebak kita ke dalam permasalahan-permasalahan lanjutan yang tidak pernah kita perkirakan.

Dalam skala lebih besar lagi mungkin adalah perkataan atau tulisan vulgar bernada kebencian dan hujatan. Saya yakin, anda yang sedang membaca artikel ini tak perlu lagi diajari bagaimana bahayanya sebuah ujaran kebencian terhadap sesama.

Dalih yang sering kita dengar bagi pelaku ujaran kebencian adalah kebebasan berekspresi. Ada pula yang beralasan terbawa emosi sesaat, atau justru hanya ikut-ikutan saja biar dianggap keren atau pemberani.

Layaknya pedang atau pisau yang bermata dua, lisan maupun tulisan buruk yang kita tampilkan kepada orang lain dapat menjadi penyebab amal jariyah serta amal ibadah kita terhapus. Tidakkah kita menginginkan hal itu? Tentu tidak.

Ok, sobat sekalian yang berbahagia, semoga sedikit tulisan ini bisa bermanfaat. Selamat menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadan bagi kalian yang menjalaninya.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun