Kini saat virus corona datang menghantui dan menghentikan banyak kegiatan masyarakat, yang muncul adalah kegalauan dan kesedihan. Entah bagaimana rasanya menjadi satu dari sekian banyak pedagang kaki lima yang sehari-hari mengandalkan jualannya dari pengunjung Borobudur. Saat Candi Borobudur ditutup entah sampai kapan, tentu mereka pun kehilangan sumber penghasilan.
Hari Raya Waisak yang bertepatan dengan Ramadan, seharusnya menjadi momen spesial masyarakat di sekitar Borobudur. Namun, hadirnya pandemi Covid-19 tampaknya membuyarkan angan-angan terciptanya momen-momen indah saat ini. Semua harus rehat sejenak kali ini. Waisak dirayakan di rumah saja serta secara online, begitu pula ibadah Ramadan yang harus dijalani dengan menyesuaikan keadaan saat ini.
Putus asa dan meratapi keadaan jelas bukan sebuah jalan keluar. Ramadan hadir sejatinya untuk menguji kesabaran umat Islam, menahan hawa nafsu hingga hari kemenangan tiba.Â
Waisak setahu saya selalu mengusung semangat kebaikan dan persaudaraan antar sesama. Maka dari itu tak ada salahnya kita menjaga semangat dan optimisme untuk bisa bersama-sama bangkit dari masa-masa sulit.
Salah satu hikmah yang bisa kita dapatkan, mungkin tahun ini adalah saat istirahat bagi Candi Borobudur nan megah. Memberi kesempatan untuk sejenak bernafas dan merestorasi diri. Hingga suatu saat nanti, akan kembali dibuka untuk menyambut orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Membuka kembali sumber-sumber rejeki bagi masyarakat. Selalu ada harapan di saat kesulitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H