Beberapa bulan tidak menginjakkan kaki di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta (Soeta), Tangerang, saya agak terkejut dengan perubahan di helter bus di area kedatangan penumpang. Jika sebelumnya calon penumpang bus tak punya kewajiban untuk membeli karcis di loket atau vending machine, kini mau tidak mau penumpang harus menyesuaikan diri dengan sistem baru.
Sistem yang baru ini selain terdapat loket tiap perusahaan bus, vending machine, juga terpasang layar Public Information Display System (PIDS) serta pintu otomatis (autogate) untuk masuk ke dalam area pemberangkatan bus.
Shelter bus ini melayani pemberangkatan berbagai jenis bus dari berbagai penyedia layanan seperti Damri, Perum PPD, Primajasa, Hiba Utama, Sinar Jaya, Â Agra Mas hingga Big Bird. Mereka melayani rute berbagai tujuan di sekitar Jabodetabek bahkan hingga jurusan Pandeglang serta Bandung.
Modernisasi sistem di shelter bus ini sudah pasti untuk menertibkan antrean, baik penumpang maupun bus. Sebuah cita-cita mulia yang patut diapresiasi, kalau masih awut-awutan, rebutan penumpang dan sejenisnya, tentu akan mengurangi wajah cantik Terminal 3 Bandara Soeta.
Ya, silakan bilang saya nggak mau diajak modern, tapi kenyataannya sistem ini terlihat masih perlu perbaikan dan malah membuat orang (kuno) seperti saya kedodoran dan makin pusing menunggu bus.
Kamis, 11 April 2019, siang, saya berniat pulang naik Damri tujuan Cibinong. Tapi setelah celingak-celinguk beberapa saat, saya tidak menemukan bus tersebut di deretan bus yang sedang ngetem.Â
Hmm, karena sistem sudah canggih makanya saya kemudian ngecek di layar PIDS yang tersedia. Tapi... Wow...!! Sistem canggih yang konon berdasarkan koordinat GPS bus, kenyataannya tidak real time.
Deretan posisi bus yang terpampang di layar ternyata merupakan data kadaluarsa yang telat sekitar 30 menit. Bayangkan, bus jurusan Bekasi Barat sudah datang dan akan berangkat kembali, ternyata di layar masih terpampang baru akan menuju Terminal 3 dengan estimasi waktu yang tidak akurat.
"Tunggu saja, masih di Terminal 2," jawabnya dengan nada datar dan tanpa ekspresi.
Saya merasakan kurang nyaman di sini. Tidak ada yang bisa dimintai informasi dengan jelas, dan sikap para petugas di lapangan sepertinya masih terbawa aura terminal bus pada umumnya, dingin dan membingungkan.
Saya pun mau tidak mau membeli karcis Damri tujuan Cibinong meskipun tidak jelas kapan datangnya. Bagi saya kepastian kedatangan adalah hal penting karena sebenarnya saya bisa naik bus lainnya dengan jurusan Depok lalu dilanjut naik ojol atau taksi, atau alternatif lainnya naik Damri ke Pasar Minggu lanjut naik KRL Commuterline turun di Bojonggede.
Inilah repotnya, ketika bus Hiba Utama jurusan Depok sudah datang duluan, saya tidak bisa begitu saja naik karena sudah tersandera dengan karcis tujuan Cibinong yang saya beli. Dengan kata lain, ketika karcis sudah terbeli maka penumpang tidak bisa naik alternatif bus dengan tujuan yang searah.
Pun ketika sudah beli karcis dan ternyata bus tak kunjung datang, kita pun tak bisa serta merta kemudian berubah pikiran naik KA Bandara. .
Entahlah saya belum pernah mencoba menukarkan kembali karcis yang terbeli dengan uang, tapi yang jelas di karcis disebutkan bahwa karcis yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan.
Ah, kalau soal ini saya kok cenderung setuju jargon "enak jaman dulu", saat masih bisa bayar ongkos Damri di dalam bus. Saat masih bisa main "feeling" mau naik jurusan mana yang penting datang duluan.
Sistem pemberlakuan auotgate dengan kewajiban scan QR code karcis di pintu bagi saya agak bikin rempong. Bagaimana tidak, QR code di selembar kertas tipis itu sangat rawan lecek dan memang banyak penumpang (termasuk saya) yang memerlukan waktu agak lama agar autogate bisa membaca QR code tersebut.
Kartu bank yang discan di autogate bisa discan ulang di dalam bus agar bisa memotong tarifnya. Dengan demikian penumpang kuno seperti saya yang memiliki banyak rencana alternatif jurusan bus bisa terbantu. Tak perlu lagi memesan karcis sesuai jurusan tertentu, karena di dalam bus baru akan ketahuan kita mau ke mana dan bayar berapa.
Ketika melewati autogate pun rata-rata penumpang yang membawa koper besar dan kardus-kardus besar oleh-oleh akan kesulitan.Â
Ya bayangkan saja autogate yang sempit dan kita harus konsentrasi melakukan scanning QR code, setelah terbuka kita pun harus bergegas masuk dengan membawa barang-barang yang lumayan berat dan besar. Mungkin lain kali autogate bisa dibikin selebar gawang sekalian sehingga penumpang tidak akan repot.
Memang bagi pengguna bus bandara Soeta, sudah menjadi resiko mengalami penantian yang tak pasti. Dengan segala crowded-nya lalu lintas ibu kota, maka tak heran jika waktu tunggu dan perjalanan dengan bus bandara ke rumah kita ternyata lebih lama dan melelahkan dibandingkan durasi perjalanan dengan pesawat dari luar Jawa sekalipun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H