Warga Jakarta dan sekitarnya sedang kena trending topic MRT Jakarta. Sejak tanggal 12 Maret lalu, uji coba publik berhasil menyedot antusiasme warga untuk meluangkan waktu menjajal MRT Jakarta.
Saya pun berkesempatan mencoba, bahkan beberapa kali. Pertama, merasakan di hari Minggu, 17 Maret 2019 ketika MRT lebih banyak didominasi warga yang ingin berekreasi. Sedangkan dua hari berikutnya saya mencoba ketika MRT beroperasi di jam dan hari kerja.
Wajah-wajah bahagia, antusias serta penuh kekaguman, terlihat mewarnai uji coba. Tak hanya penumpang, para petugas dari mulai security, cleaning service, petugas di gate tiket hingga petugas infromasi tampak menikmati suasana uji coba. Bertukar sapaan dan saling mengoper senyum.
Kehadiran MRT Jakarta memang menggairahkan. Para penumpang yang ingin merasakan uji coba rata-rata antusias mengabadikan momen tersebut. Foto-foto, selfie, ngevlog lalu mengupload ke media sosial adalah bukti bahwa penumpang generasi gadget menyambut baik hadirnya MRT Jakarta.Â
Secara performa, rangkaian kereta MRT Jakarta cukup memuaskan publik. Baik dari segi kecepatan dan ketepatan waktunya. Kenyamanan di dalam kereta pun boleh dibilang berada di atas level KRL Commuterline maupun bus Transjakarta seri terbaru sekalipun.
Secara umum MRT Jakarta memang oke punya. Jakarta patut bangga memilikinya. Namun sebenarnya ada pertanyaan mendasar yang belum terlalu jelas terjawab, yakni bagaimana hadirnya MRT ini diikuti dengan integrasi antar moda transportasi?
Setelah sempat mencicipi uji coba, saya pun menjadi sasaran untuk bertanya mengenai MRT. Justru pertanyaan yang paling sering saya terima antara lain:
"Saya mesti naik dari mana?"
"Kalau abis naik KRL mau naik MRT enaknya nyambung di mana ya?"
"Ada nggak ya kendaraan ke Stasiun Lebak Bulus selain nggak pakai ojol?"
Yup, memang, tanpa kemudahan integrasi antar moda, MRT Jakarta tidak akan optimal berkembang. Warga mendamba bisa naik turun dan berganti moda dengan cepat. Namun sayangnya, hingga beberapa hari menuju beroperasi resmi, integrasi antar moda yang melibatkan MRT Jakarta masih belum terlihat ideal.
Dukuh Atas adalah kawasan yang disebut-sebut menjadi pusat integrasi antar moda transportasi di Jakarta. Stasiun MRT Dukuh Atas memang hanya beberapa langkah dari Stasiun KRL Sudirman dan Stasiun KA Bandara BNI City.Â
Tapi ketika bicara kondisi saat ini, ketika kaki melangkah keluar dari Stasiun Sudirman di Jalan Blora, maka keriuhan lalu lintas yang didominasi ojek online yang mangkal menunggu penumpang, maupun penumpang yang tengah kebingungan menunggu ojol, akan sedikit mengacaukan definisi "integrasi antar moda".
Saya sendiri pernah menghitung waktu tempuh dari Stasiun Sudirman menuju halte Dukuh Atas 1 dengan berjalan kaki memerlukan waktu paling cepat 10 menit, itupun dengan langkah serba terburu dan mendapat bonus keringat bercucuran meski di pagi hari.
Meskipun jalur layang Transjakarta untuk rute Koridor 13 Ciledug - Tendean sudah lama beroperasi, tetapi halte CSW sampai sekarang belum difungsikan. Malah karena adanya pembangunan Stasiun MRT ASEAN yang hadir belakangan, halte CSW seolah menunggu adanya integrasi untuk akses penumpang.
Bahkan bulan lalu sempat dibuka sayembara desain prasarana integrasi halte CSW dan Stasiun MRT ASEAN. Mungkin karena saking pusingnya membuat jalan akses ke halte CSW, sehingga pihak Transjakarta sengaja melempar sayembara desain ke publik.
Namun, lebih baik terlambat daripada tidak. Semoga desain integrasi nantinya akan memberikan akses bagi penumpang dari Kebayoran Lama, Ciledug maupun dari arah Jalan Tendean untuk nyambung ke moda MRT.
Integrasi antar moda memang menjadi kunci. Sayangnya mayoritas Stasiun MRT dari Senayan hingga Bundaran HI tidak berdekatan dengan halte Transjakarta, maupun halte bus reguler. Ya maklumlah, kadang jarak 300 meteran saja kita sudah merasa 'mager' alias malas gerak.Â
Jadi dengan kondisi integrasi yang masih tidak sesuai harapan bagi orang berbudaya 'mager', tentu perlu kerja keras lagi meyakinkan para pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke MRT.