Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Premium, "Si Antagonis" yang Tak Jua Tamat Riwayatnya

6 November 2018   20:54 Diperbarui: 6 November 2018   21:11 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertamina yang semakin greget dengan ragam produknya (sumber foto: Kompas.com/Garry Andrew Lotulang)

"Mas, kalau ada pom bensin ntar kita mampir dulu ya?" pinta driver ojek online (ojol) yang saat itu tengah membawa saya.

"Silakan Bang, memangnya nggak beli eceran saja?" tanya saya.

"Nggak Mas, lebih enak di SPBU, literannya pas, dapetnya juga lebih murah," ujarnya.

"Lha emang mau ngisi apa Bang? Premium?"

"Nggak lah, nggak bagus pakai Premium Mas, murah sih murah tapi lama-lama tekor motor saya, motor jaman sekarang nggak cocok minum Premium, minimal Pertalite lah, tapi seringnya saya pakai Pertamax kok," jawabnya.

Saya hanya manggut-manggut di belakangnya. Ternyata driver ojol di depan saya ini paham tentang jenis bahan bakar. Paham bahwa Premium memang sudah kurang matching lagi dengan produk sepeda motor terbaru.

"Nggak takut rugi, Bang? Pertamax kan mahal?" telisik saya.

Terkadang heran juga dengan para ojol ini, saya lihat motornya banyak yang bagus-bagus dan mahal, termasuk yang kali ini saya tumpangi. Kalau dibandingkan dengan motor saya di rumah, duuh...

"Motor saya belum lunas Mas, jadi mesti disayang-sayang, mosok dikasih minum Premium, haha, biar ngojek begini mental saya bukan mental subsidi Mas," cerocosnya lagi.

Nah, ini baru greget. Punya prinsip jelas soal jenis BBM yang cocok dan "menyehatkan" mesin kendaraannya. Walaupun memang tidak semua ojol punya pendapat yang sama, dan tentu saja tidak semua ojol punya kemampuan sama dengan driver ini.

Pertalite hadir dan perlahan tapi pasti mendepak Premium ke posisi ujung tanduk (sumber foto: Kompas.com/Rony Ariyanto Nugroho)
Pertalite hadir dan perlahan tapi pasti mendepak Premium ke posisi ujung tanduk (sumber foto: Kompas.com/Rony Ariyanto Nugroho)
Stereotype Premium
Saya sendiri pernah punya pengalaman agak "gimana gitu" ketika hendak mengisi BBM di sebuah SPBU. Saat tiba giliran saya, petugas SPBU tampak tertegun sejenak sambil memegang gagang selang BBM berwarna kuning. Rupanya ia memprediksi bahwa saya akan mengisi bensin jenis Premium untuk sepeda motor saya yang memang terlihat dekil akibat sering kehujanan dan belum sempat saya cuci, dan apesnya lagi karena motor ini keluaran tahun 1991 yang memang terlihat "tua" dibanding motor-motor kekinian.

"Pertalite Mbak, dua puluh ribu," ucap saya.

"Premium Mas?" dia malah balik nanya, pertanyaan yang berbumbu stereotype.

"Pertalite Mbak..." ulang saya, dan baru setelahnya ia seperti tersadar dari lamunan dan segera mengambil gagang selang warna hijau yang menandakan Pertalite.

Ya memang, saya sudah kadung cocok dengan Pertalite. Meskipun motor "senior" (saya tidak menyebutnya dengan "tua"), tapi rasanya saya sudah lupa kapan terakhir kali mengisinya dengan Premium. Bahkan sesekali saya pun mengisinya dengan Pertamax. Mungkin inilah yang menyebabkan sepeda motor kesayangan keluarga saya ini tetap greget dan masih bisa "bernafas panjang" hingga kini, di saat teman-teman seangkatannya sudah hilang keberadaannya atau justru beralih fungsi jadi mesin pendorong gerobak dan sebagainya.

Menakar eksistensi Premium
Premium memang sudah kadung lekat dalam nadi kehidupan masyarakat. Tapi dalam tahun-tahun belakangan, terutama dengan hadirnya Pertalite, Premium sudah mulai ditinggalkan. Disinyalir eksistensinya mulai memudar.

Harus diakui, sebagian masyarakat sudah mulai teredukasi bahwa bahan bakar jenis Premium dengan kandungan RON 88 sudah ketinggalan jaman dan berdampak buruk bagi mesin kendaraan. Juga terhadap lingkungan, Premium menghasilkan gas buang yang amat buruk dibandingkan jenis BBM lainnya. Tapi ingat, faktanya belum semua lapisan masyarakat sadar dan mau tahu bahwa di balik harga murah Premium terdapat ancaman terhadap mesin kendaraan dan isi dompet kita.

Jika diibaratkan, Premium seharusnya menjadi tokoh antagonis yang mesti dilenyapkan. Sayangnya, ada bagian dari diri kita yang memang senang dengan drama, makanya si tokoh antagonis ini tidak juga tamat riwayatnya. Ternyata masih banyak juga penggemar Premium garis keras yang masih merasa membutuhkan kehadirannya. Ya, tentu saja karena harga jualnya yang paling murah dibandingkan BBM lainnya.

Tapi sampai kapan ya?

Padahal jika kita mau mencari informasi dan berpikir jernih, harga murah Premium sebenarnya tidaklah sebanding dengan dampaknya. Harga per liter memang lebih murah, tetapi sebenarnya kendaraan akan lebih boros dan beresiko dengan membengkaknya harga perawatan kendaraan.

Juga tidak bisa dipungkiri apabila keberadaan Premium akan selalu bersinggungan dengan ranah politik. Maka jika diibaratkan dalam sebuah status hubungan, bisa disebut "complicated". Terlihat sangat susah untuk berbuat "tega" melenyapkan Premium begitu saja. Meskipun di belahan dunia lainnya BBM dengan RON 88 sudah tinggal nama. Justru di negara kita saat ini seolah-olah Premium berada dalam posisi "dibiarkan mati pelan-pelan karena penuaan".

Pertamina yang semakin greget dengan ragam produknya (sumber foto: Kompas.com/Garry Andrew Lotulang)
Pertamina yang semakin greget dengan ragam produknya (sumber foto: Kompas.com/Garry Andrew Lotulang)
Edukasi dan faktor harga
Saat ini hal yang memang terus dikampanyekan Pertamina adalah edukasi tentang manfaat "naik kelas" dari Premium ke jenis BBM lainnya. Edukasi yang diharapakan bisa semakin meluas dan meresap hingga berbagai kalangan masyarakat, terutama di lapisan bawah.

Namun, ketika bicara tentang edukasi ke seluruh lapisan masyarakat, bisa jadi tak perlu dengan bahasa dan istilah teknis seperti "standar Euro 4 untuk BBM yang lebih ramah lingkungan". Terlalu "berat" bagi yang mendengarnya ketika setiap hari pun mereka masih dipusingkan dengan tetangga yang selalu nyinyir misalnya.

Ya, kampanyekan dengan sederhana bahwa Premium ternyata bikin boros dan Premium bikin mesin cepat rusak. Selanjutnya pakai Pertalite itu lebih aman dan hemat. Nah yang pakai Pertamax jelas greget, biar mahal yang penting greget.

Cukupkah demikian? Mungkin tidak, karena selama Premium masih eksis dan interval harganya terlalu njomplang dengan Pertalite dan Pertamax maka bisa jadi Premium bakal dirindukan kembali. Intinya faktor harga memang sangat vital.

Nah, selama seluruh masyarakat belum satu bahasa bahwa Premium memang "jahat", maka lebih baik jangan pernah coba-coba menaikkan harga Pertalite dan Pertamax dengan selisih harga yang membuat orang akan berpikir: "daripada beli Pertalite lebih mahal, lebih baik selisih uangnya dibelikan bakso."

Ingat, sebelum jadi antagonis, Premium sebenarnya adalah protagonis yang disayang publik. Nah jika kini sudah terlanjur terungkap kalau "jahat" masak mau jadi jagoan lagi? Ah, kok drama banget ya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun