Membaca ulasan Harian Kompas, Senin, 7 Mei 2018 berjudul "Menyusun Rusun di Stasiun", menggelitik saya sebagai salah satu pengguna transportasi KRL Commuter Line. Laporan Kompas mengklaim bahwa jauh-jauh hari penjualan rumah susun (rusun) di Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan laris diburu peminat.
Stasiun Tanjung Barat menjadi salah satu lokasi yang dipilih Perum Perumnas untuk membangun rusun yang mengutamakan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebagai konsumennya. Lokasi lainnya ada Stasiun Rawa Buntu dan Pondok Cina. Sementara sejumlah BUMN mitra lainnya memilih lokasi antara lain Stasiun Manggarai, Cisauk, Pasar Senen, Tanah Abang, Juanda, Bogor, Jurangmangu hingga Bekasi.
Penargetan lokasi stasiun ini jelas ada kaitannya dengan moda transportasi massal KRLÂ Commuter Line yang semakin menjadi pilihan. Konon dalam tiga tahun terakhir rata-rata penumpang KRL naik sekitar 40%. Adanya rusun di stasiun, tampaknya PT KAI dan anak cabangnya, yakni PT KAI Commuter Indonesia (KCI) sebagai operator, masih sangat bernafsu menambah jumlah penumpang.
Teori di atas kertas maupun di layar presentasi memang sangat menjanjikan dan merupakan ide yang brilian ketika hunian terintegrasi dengan transportasi massal sehingga ujung-ujungnya mobilitas masyarakat akan lebih mudah, cepat serta murah.
Saya justru kasihan dengan masyarakat yang telah memesan unit rusun dan berharap banyak dengan moda KRL Commuter Line. Jika masyarakat penghuni rusun itu juga merupakan pekerja di ibu kota dan memiliki jam kerja seperti kebanyakan orang yakni masuk kerja antara jam 7-8 pagi dan jam pulang mulai jam 16.30, maka patut disayangkan pilihan hunian di Stasiun Tanjung Barat dan Pondok Cina.Â
Kali ini saya akan fokus pada dua stasiun itu, Tanjung Barat dan Pondok Cina, karena tiap hari sebagai pengguna KRL Commuter Line, saya melewati kedua stasiun ini.
Jika rusun telah terbangun di kedua stasiun itu, maka terdapat tambahan ribuan penumpang potensial yang akan menyesaki peron tiap harinya pada jam sibuk, terutama pagi hari mulai pukul 05.00 hingga 08.00 WIB. Bakal terangkutkah mereka dengan moda KRL Commuter Line saat ini?
Well, saya kok ragu.
Sebagai gambaran, setahun yang lalu saya masih setia naik KRL dari Stasiun Citayam dan masih terasa longgar. Kini, saya harus naik dari Stasiun Bojonggede (satu stasiun lebih awal dari Citayam) dan kondisinya sudah banyak perjuangan untuk bersaing masuk ke dalam kereta. Begitu kereta saya masuk ke Citayam, tampaklah wajah-wajah "panik" yang harus memaksakan diri agar bisa naik KRL.
Belum lagi dari Citayam, KRL akan singgah di Stasiun Depok, Depok Lama, Pondok Cina, Universitas Indonesia, Universitas Pancasila, Lenteng Agung baru masuk ke Tanjung Barat. Semakin dekat ke arah Jakarta, maka semakin susah pula penumpang di stasiun untuk naik.Â
Sebagai bayangan di Stasiun Pondok Cina, mungkin dari 20 orang yang mengantre di tiap pintu hanya 2-3 orang saja yang berhasil masuk dalam kereta, itupun setelah berusaha keras dengan resiko yang tidak kecil. Silakan baca tulisan sebelumnya "Sudahlah Jangan Naik KRL Commuterline Lagi".
Nah, apa kabar jika Stasiun Tanjung Barat tiba-tiba dapat tambahan penumpang yang membludak? Bisa-bisa mereka baru berhasil naik kereta jam 8 setelah menunggu dari jam 6 pagi.
Sepanjang jalur KRL belum bertambah, jumlah armada pun susah bertambah, bagaimana bisa pihak PT KAI dan KCI bercita-cita menambah jumlah penumpang? Jelas tidak manusiawi melihat ribuan orang dipaksa terangkut dalam kondisi padat. Teori dan konsep memang terlihat bagus di atas kertas, tapi jangan sampai sisi manuasiawi terabaikan. Ribuan orang mungkin bisa saja terangkut, tetapi apakah di dalam KRL Commuter Line itu mereka mendapatkan hal yang layak?
"Namanya juga angkutan umum murah, bersubsidi pula, mana bisa enak?" komentar ini terus terang kerap saya dengar.
Tapi saya sebagai pengguna angkutan massal tidak berpikiran mau enak, tapi hanya berharap bisa diperlakukan manusiawi. Sisi manusiawi inilah yang makin lama makin pudar dalam KRL Commuter Line.Â
Dijejal sedemikian rupa dalam gerbong besi membuat penumpang sensitif, saling senggol, saling berprasangka buruk, merasa dirinya paling pantas diprioritaskan duduk dan sebagainya.
Kembali soal rusun di stasiun, semestinya calon penghuni memperhitungkan baik-baik apakah hunian tersebut memang sesuai dengan kebutuhan mereka? Apakah mereka memang berharap bahwa KRL Commuter Line menjadi andalan transportasi setiap harinya?
Saya ambil contoh Stasiun Tanjung Barat, jika ada rusun di lokasi ini maka sebaiknya dan semestinya yang akan benar-benar menikmati adalah mereka yang:
- Kerja di Jakarta dan memiliki jam kerja tidak seperti orang kebanyakan, misal berangkat kerja siang hari, sore atau malam hari, karena saat itu KRL Commuter Line tidak sepadat pada jam sibuk.
- Kerja ke arah berlawanan dari Jakarta, misal kerja di Depok atau Bogor, karena kepadatan pada pagi hari lebih ke arah Jakarta.
Nah, seandainya mereka tidak memenuhi kondisi tersebut, maka siap-siap saja penghuni rusun akan "menderita" menanti KRL Commuter Line setiap harinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H