"Oh itu mungkin karena di alamat bapak tertulis daerah Bojonggede, rata-rata mereka malas Pak karena dikira nyeberang rel dekat pasar sana, macet..." ucap seorang driver GrabCar yang sekaligus bisa berubah jadi Uber, tergantung situasi. Dia menjelaskan problem yang biasa saya hadapi ketika saya mengorder.
"Lah, rumah saya memang Bojongggede, tapi lebih dekat ke Pemda Cibinong, kan di perbatasan, jadi nggak nyeberang rel, memangnya nggak baca maps ya?" ujar saya.
"Memang Pak, tak harus lihat maps dulu untuk memutuskan terima order, kalau saya sih tadi mau terima karena pertimbangan jarak, jadi saya tahu pasti tempat bapak nggak mungkin sampai dekat pasar sana..." jelasnya.
Menurut beberapa driver taksi online, Uber memang unggul di maps dan teknologi aplikasi. Meski demikian, sama seperti ojek onlinenya, driver taksi Uber tidak akan tahu tujuan penumpang sampai saat dia menjemput penumpang tersebut.
Sistem ini jelas bisa menjadi dewa penolong ketika penumpang sudah terlalu lama mencari layanan Grab dan tidak ada driver yang mau menerima. Driver Uber akan menyambut orderan tersebut dan siap mengantar ke mana saja.
Kembali tentang akuisisi Uber oleh Grab. Bagiamana nasib pengguna? Grab memang menjanjikan layanan lebih baik. Tapi, jika pilihan tinggal dua yakni Grab dan Gojek, entahlah bakal menguntungkan penggunanya atau tidak. Pastinya, banyak pengguna Uber akan merasa kehilangan dan rindu berat. Selamat jalan Uber...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H