Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Perlukah Bensin Premium Dihapus?

4 Februari 2018   07:10 Diperbarui: 6 Februari 2018   13:23 2210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Kompas.com/Rony Ariyanto Nugroho

Beberapa waktu lalu saat saya menumpang sebuah kendaraan sewa berbasis aplikasi online, dalam perjalanan si sopir meminta izin untuk singgah guna mengisi bahan bakar di sebuah SPBU.

"Cuma di sini mas yang selalu ada kalau mau isi Premium, tempat lain mah susah, habis mulu..." ucap pak sopir.

Saya sedikit terhenyak. Kendaraan yang saya tumpangi tersebut termasuk keluaran baru, dan berdasarkan tipenya seharusnya tidak diisi dengan Premium yang memiliki RON di angka 88.

"Lho Pak, kok diisi Premium?" tanya saya.

"Biarin lah Mas, bukan mobil saya ini, kalau mesin jadi nggak awet itu urusan bos saya, urusan saya cuma nggak nombok aja tiap hari," jelasnya.

Saya hanya bisa manggut-manggut mencoba maklum mendengarnya. Inilah bedanya sopir angkutan online yang jadi anak buah pemilik kendaraan dengan sopir yang benar-benar sebagai pemilik kendaraan tersebut. Mereka terkadang tidak peduli jika bahan bakar yang tidak sesuai dengan spesifikasi mesin justru akan membuat mesin mudah rusak. Lebih jauh lagi, sopir jenis ini tidak mau berpikir tentang dampak terhadap lingkungan.

Angkutan online rasa angkot rupanya. Di jalur antrean pengisian BBM Premium di SPBU tersebut, ada beberapa angkot yang sedang mengantre juga.

Melihat hal itu, saya sedikit bisa menarik kesimpulan bila Premium memang masih dibutuhkan bukan karena alasan teknis atau kualitasnya, melainkan karena semata harga murahnya. Harga murah yang bagi sebagian kalangan masyarakat dianggap sebagai "dewa penolong".

Padahal sebenarnya saat ini sudah terlihat kecenderungan peralihan konsumen BBM yang sudah mulai meninggalkan Premium. Munculnya Pertalite dengan RON 90 dan harga yang tidak berbeda jauh dari Premium, merupakan salah satu faktor mengapa Premium mulai ditinggalkan.

"Memangnya mobil ini pakai Premium terus Pak?" tanya saya.

"Ya nggak Mas, kalau nggak nemu Premium ya saya pakai Pertalite, cuma pas mumpung lewat sini ya saya seneng aja ngisi Premium, lumayan lah dapet selisih," ujar pak sopir.

Dari jawaban jujur seorang sopir angkutan online ini membuat saya berpikir andai Premium dihapus saja keberadaannya. Saya berpikirnya sebagai warga negara yang berharap kualitas udara tidak menjadi semakin buruk gara-gara penggunaan BBM yang tidak ramah lingkungan. Polusi udara adalah kontribusi buruk dari penggunaan BBM, terutama yang punya RON rendah.

Toh, di sisi lain juga akan memaksa kalangan masyarakat yang belum teredukasi untuk lebih tahu dan akhirnya sadar bahwa penggunaan bahan bakar Premium pada akhirnya tidak membuat irit tetapi justru pemborosan.

Jika dilihat dari sudut pandang lingkungan, keberadaan Premium seolah hanya menjadi "beban" bagi Pertamina yang justru saat ini tengah berusaha memenuhi standar Euro 4 untuk produk BBM-nya. Euro adalah penamaan standarisasi emisi gas buang kendaraan yang digunakan untuk mengurangi polusi udara dari gas hasil pembuangan mesin kendaraan. Standar Euro bukanlah standar untuk meningkatkan performa mesin kendaraan, tapi lebih ke dampaknya terhadap lingkungan. Tujuannya adalah memperkecil kadar bahan pencemar atau pengurangan polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor.

Munculnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N dan Kategori O, maka mulai tahun 2018 Pemerintah Indonesia akan menetapkan BBM Euro 4 secara bertahap hingga tahun 2021.

Nah, ketika sudah ada payung hukumnya dan jika dilihat dari sisi teknologi mesin kendaraan, pasar otomotif dalam negeri yang masih berkutat pada standar Euro 2 di masa mendatang akan beralih pada standar Euro 4. Produsen otomotif ke depan diprediksi hanya akan memproduksi kendaraan bermotor yang cocok mengonsumsi BBM dengan standar Euro 4.

Jadi situasinya pasti akan berubah ketika pemilik kendaraan bermotor dengan teknologi mesin modern akan lebih ketat dalam konsumsi BBM. Bisa jadi pemilik kendaraan akan selalu mengawasi dan memperingatkan sopirnya agar selalu menggunakan BBM yang memenuhi standar.

Keberadaan BBM dengan standar Euro 4 ini ibarat makanan sehat dan bergizi bagi seseorang yang berkomitmen untuk bergaya hidup sehat. Tak lagi ada konsumsi junk food atau gorengan yang digoreng dengan minyak sembarangan, karena meskipun murah tetapi dampaknya bagi tubuh adalah penyakit yang mengintai. Bukannya hemat dan sehat malah berpotensi timbulnya penyakit bagi tubuh.

Melihat tren ke depan, memang sudah seharusnya Premium dilupakan dan "diputuskan" saja bak pacar yang sudah tidak cocok lagi untuk menjalani masa depan. Tapi mungkin saat ini pemerintah dan Pertamina masih ada rasa "sayang" untuk tegas "memutuskan" begitu saja nasib Premium.

Tapi bagaimanapun, nasib Premium memang sudah di ujung tanduk. Hanya menunggu waktu untuk tegas menghapus keberadaan Premium dan menatap hidup dengan lebih baik dengan produk BBM yang lebih ramah lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun