Wacana "becak is back" yang digagas duo pimpinan DKI Jakarta tentu menuai pro dan kontra, dan itu hal biasa di zaman serba nyinyir saat ini. Becak yang keberadaannya sudah kadung diharamkan di Jakarta, seolah mendapat angin segar untuk kembali unjuk gigi di ibukota negara.
Sudahlah, saya tak ingin masuk ke ranah politis membahas pantas atau tidak becak kembali datang. Saya ini pun sebenarnya penganut paham "yang lalu biarlah berlalu", termasuk juga dalam hal asmara, saya paling nggak setuju kalau ada seseorang kembali ke pelukan mantan. Lho kok malah ngomongin mantan?
Melihat wacana yang berkembang, belakangan Bang Sandi yang tampan nan rupawan, kembali harus menuai kontroversi akibat melemparkan rencana strategis untuk memberikan pelatihan cara nggenjot yang baik dan benar kepada para abang becak yang nantinya punya lisensi turun ke jalanan Jakarta.Â
Pendukung militan Anis-Sandi tentu membela dan percaya bahwa langkah itu pasti baik dan bermanfaat bagi rakyat kecil. Sedangkan yang kontra tentu saja menertawakan kebijakan itu, dan pasti mereka adalah cebong, hahaha...
Lho kok saya ikut ketawa? Saya kan netral di sini.
Saya memang bukan pemerhati becak, tapi saya punya pengalaman pilu dengan becak. Jadi ceritanya saya sedang berada di Kota Semarang.Â
Di kota ini becak masih bebas melengang di tengah kota. Saat itu saya dari sebuah mal hendak menuju ke hotel tempat saya menginap yang jaraknya sekitar 200 meteran. Karena hujan, banyak genangan (bukan kenangan lho ya) dan mesti menyeberang jalan dua kali, maka keputusan untuk naik becak pun seolah menjadi solusi praktis.
Bapak tukang becak yang terlihat sudah tua tapi masih berotot, tampak menyambut saya dengan antusias. Saya pun bergegas naik dan sebelum berangkat, pak becak menutup muka becak dengan semacam tirai dari spanduk bekas. Tirai itu gunanya supaya air hujan tidak masuk dan membuat saya jadi basah.Â
Tapi jadinya malah menutupi pandangan saya karena si bapaknya nggak pakai plastik transparan. But its okay because the jarak tempuh is not far away.
Becak pun mulai berjalan, seiring saya mendengar suara-suara klakson mobil dan motor bersahutan. Wah, ini nekat rupanya, karena ternyata si bapak membawa becak melawan arus meski hanya beberapa meter. Padahal itu di jalan gede nan ramai bro. Tapi sekali lagi saya pasrah aja karena jarak tempuh is not far away.
Tiba-tiba, mak bedunduk.... "jegeeerr!!"
Tanpa ba bi bu dan tanpa tahu apa yang terjadi, becak bergoyang dengan keras dan tubuh saya seolah terlempar ke depan, keluar becak. Rupanya roda becak menghantam keras lubang galian di jalan yang tertutup genangan air. Persis di depan hotel.
Saya pun terjerembab dan mendarat di aspal yang penuh genangan air hujan. Padahal di situ sudah ada tulisan "Hati-hati ada galian", tapi mungkin karena jarak pandang akibat hujan atau mungkin karena tidak fokus, jadinya ya begitu deh.
Well, saya cukup beruntung tidak cedera parah meski setelah itu hanya bisa manyun di pinggir jalan sambil geleng-geleng kepala. Saya hanya menderita benjol di dahi kanan meski tak sebesar bakpao dan mengalami nyeri di bagian tangan.Â
Sementara tas ransel saya terbukti waterproof sehingga laptop di dalamnya pun pun aman. Sedangkan kondisi pak becak hanya mengalami sedikit rasa malu karena banyak disalahkan orang-orang karena kurang hati-hati. By the way, spanduk bekasnya sobek parah akibat diterpa tubuh saya.
"Sory mas sory... Nggak kelihatan lubangnya," ucapnya sambil nyengir.
Benar sekali, anda tidak salah baca. Bapak tua itu hanya nyengir dan segera berusaha menggenjot sejauh mungkin becaknya dari hadapan saya yang masih speechless.
"Bentar Pak, ini ongkosnya," meski seharusnya saya minta asuransi dan dibawa ke Puskesmas, saya malah tetap membayar. Hanya sepuluh ribu sih dari rencana 20 ribu, lha wong saya nyari duit yang selembar lagi nggak ketemu. Mungkin dia ngumpet karena shock.
Nah, pengalaman itu masih hangat di kepala saya karena baru akhir November tahun lalu kejadiannya. Dari kejadian itu, saya kali ini bisa menyatakan sepakat dengan Bang Sandi (meski saya tidak sepakat dengannya kalau soal lipbalm). Tukang becak memang harus diberi pelatihan.
Pelatihan yang bagaimana? Nggenjot memang gampang, tinggal gowes. Tapi arahnya ke mana dulu? Apa boleh melawan arus lalu lintas seperti pak becak yang membawa saya tadi? Apa boleh sembarang melibas genangan air tanpa memperhitungkan itu adalah jalanan berlubang yang berbahaya?
Lalu becak seperti apa yang laik jalan? Apakah yang seadanya saja tanpa memperhatikan aspek keselamatan? Apa tirai dari spanduk bekas juga layak pasang?
Bagaimana pula standar pelayanan terhadap penumpang? Katanya becak di Jakarta juga untuk menunjang pariwisata? Kalau sudah sukses melempar penumpang turun, apakah pantas si abang becak malah berusaha kabur dan nyengir? Bisa-bisa kalau wisatawan asing ada yang bernasib seperti saya, dia malah memviralkan kejadian itu ke kampungnya sana.
Teruntuk Bang Sandi, saya dukung anda kali ini. Pelatihan nggenjot becak itu penting, dan saya bersedia kok jadi salah satu pematerinya. Nanti saya susun materi pelajaran saya berjudul "Hai Abang Becak, Jangan Kau Lempar Penumpangmu." Tapi jelas nggak gratis lho, ada honornya kan? Ehhmm...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H