Sekitar lima tahun silam, seorang rekan yang pernah berkunjung ke Pulau Bokori di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara menuturkan bahwa pulau kecil ini tidak jelas. Hidup segan, mati pun tak mau. Saat itu hanya terlihat puing-puing bangunan bekas hunian warga Suku Bajo yang telah mengungsi ke daratan. Bahkan jika laut sedang pasang, bisa-bisa pulau tersebut lenyap ditelan ombak. Pulau Bokori sempat dianggap pulau mati karena kondisinya yang memprihatinkan.
Namun, kondisi sebaliknya terlihat saat ini. Pulau Bokori menjadi magnet baru wisata alam di Kendari dan sekitarnya. Tak perlu jauh terbang atau berlayar ke Wakatobi yang tersohor, bagi yang memiliki agenda dengan waktu terbatas di Kendari, Pulau Bokori bisa menjadi alternatif wisata yang sangat mengagumkan. Hanya perlu waktu tempuh kurang lebih 30 menit berkendara dari Kota Kendari ke desa terdekat dari Pulau Bokori, ditambah sekira 15 menit menyeberang dengan perahu milik penduduk setempat.
Menurut penuturan beberapa warga setempat, Pulau Bokori saat ini jauh berkembang dan bersolek dengan sangat cantiknya berkat kesungguhan pemerintah setempat membangunnya. Konon, pulau inilah yang akan menjadi ikon unggulan wisata di Sulawesi Tenggara, setelah Wakatobi tentunya. Bahkan tahun lalu pernah pula dihelat Festival Pulau Bokori dan kegiatan tersebut dijadalkan rutin untuk menarik minat wisatawan.
Untungnya pak sopir pun sudah paham dengan Pulau Bokori, dan ketika kami tiba di Desa Bajo Indah, kami pun langsung disambut seorang anak kecil yang menawarkan perahu milik bapaknya untuk mengantar ke Pulau Bokori. Desa Bajo Indah sendiri adalah salah satu desa yang berseberangan tepat dengan Pulau Bokori selain Desa Mekar.
“Bapakku di dermaga, ayo sini sa antar kita,” ucap anak itu dengan logat khasnya.
Tiba di dermaga kayu sederhana, nampaklah sebuah perahu nelayan yang siap mengantarkan ke Pulau Bokori. Bapak pemilik perahu mematok tarif 200 ribu untuk perjalanan pulang pergi, dan bagi kami berempat tentu saja tidak ada pilihan lagi kecuali setuju dengan harga tersebut. Tentu bila kita datang berombongan lebih banyak orang, harganya akan terasa lebih murah karena pemilik perahu tidak mematok harga tiket per orang.
Ternyata pasangan anak dan bapak itu memang cukup piawai bahu membahu mengendalikan perahu yang kami tumpangi. Si anak yang saya taksir berusia sekitar 11 atau 12 tahun, cukup lihai memandu dengan tongkat panjangnya di ujung depan perahu. Sementara sang bapak mengendalikan motor perahu di bagian belakang.
Dan inilah Pulau Bokori yang kekinian. Hamparan pasir putihnya terlihat bersih dengan deburan ombak yang seolah mengajak pengunjung untuk bermain. Terlihat sebuah tulisan besar “Bokori Island” yang terlihat kekinian dan kerap menjadi spot untuk berfoto. Pulau ini menjadi sangat elok dan benar-benar telah “move on” dari masa lalu.
Bangunan-bangunan villa atau pondokan juga tersedia di sini. Tak perlu khawatir untuk menginap karena jaringan listrik dan air tawar bersih juga telah tersedia. Hanya saja, orang-orang yang bermalam biasanya datang ketika akhir pekan atau masa liburan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H