[caption caption="Foto by widikurniawan"][/caption]
Sudah beberapa hari ini Jakarta seolah bebas polusi akibat banyak Metromini mogok jalan. Takut dirazia katanya, takut dikandangin sama anak buahnya Ahok. Tumben takut, soalnya Metromini biasanya seolah tanpa rasa takut. Tidak takut ngebut, tidak pula takut nabrak.
Menurut pantauan penulis di beberapa ruas Jakarta, hanya beberapa gelintir saja Metromini yang masih jalan. Itu pun milihnya pagi hari saat banyak penumpang orang kantoran berangkat kerja, sementara Pak Polisi dan Pak Petugas Dishub masih apel di kantornya.
Lha terus kalau Metromini menghilang, penumpang bagaimana?
Sejauh ini tampaknya lebih banyak orang yang bersyukur apabila Metromini mogok selama-lamanya. Alternatif yang tersedia masih ada transjakarta dan ojek online alias Ojol. Nah, yang ingin saya soroti sekarang adalah mengenai transjakarta sebagai alternatif Metromini.
Sudahkah transjakarta dapat diandalkan? Sudahkah transjakarta pantas didambakan?
Soal tarif transjakarta memang lebih murah. Perbandingannya adalah naik Metromini ongkosnya 4-5 ribu rupiah untuk sekali rute, sementara transjakarta tiga ribu lima ratus rupiah bisa keliling Jakarta, bahkan jika kita naik sebelum pukul 7 pagi cuma bayar 2 ribu rupiah saja.
Lalu kalau sudah murah apa pelayanannya harus murahan?
Seharusnya sih tidak, wong transjakarta digadang-gadang sebagai transportasi massal andalan di Jakarta saat ini. Transjakarta juga diharapkan mengurangi kemacetan yang sudah menjadi penyakit menahun Kota Jakarta.
Tapi kenyataannya? Sejak ramai-ramai kasus bus asal China yang karatan dan berkualitas jelek, layanan transjakarta tidak maju secara signifikan. Bus-bus yang mulai bobrok nyatanya masih berkeliaran. Meski sudah ada penambahan bus baru merk Scania yang wah, nyatanya bus warna biru putih ini masih jarang ditemui. Mungkin sayang-sayang kali ya, lebih banyak dikandangin, takut cepat lecet.
Tengoklah beberapa bulan ke belakang, banyak terjadi kasus kebakaran bus transjakarta. Tragedi paling miris terjadi pada November 2015 saat bus transjakarta nyelonong di perlintasan kereta Kedoya dan akhirnya menabrak KRL yang tengah melaju. Kejadian ini hampir mirip dengan yang dilakukan sebuah Metromini yang awal bulan ini hancur dihajar KRL di Angke.
Kok rasa-rasanya ada kesamaan nasib antara transjakarta dengan Metromini. Kelakuannya pun kalau dirasa-rasakan sudah mulai mirip juga kok.
Kelakuan ngoper penumpang sudah lama bikin saya jengkel. Koridor 1 yang seharusnya berakhir di Blok M atau ke Jakarta Kota di arah sebaliknya, nyatanya sering hanya sampai Bundaran Senayan atau Harmoni saja. Penumpang yang mau lanjut ke Blok M atau Kota disuruh turun dan menunggu bus di belakangnya.
Ini jelas tidak nyaman bagi penumpang. Saya pernah terpaksa ngomel ke petugas transjakarta karena dia tidak memberitahukan sebelumnya jika bus hanya sampai Bundaran Senayan, padahal saya mau turun di halte setelahnya, yakni Halte Masjid Agung.
Andai dia berteriak ngasih tahu di tiap halte pun, itu sungguh menjengkelkan karena kelakuan ini hanya semakin membuat mirip antara transjakarta dengan Metromini. Ngoper penumpang seenak udelnya.
Mungkin transjakarta bisa ngeles bahwa hal itu mesti dilakukan untuk memangkas kesenjangan jarak antar bus. Tapi di sisi lain menunjukkan ada ketidakberesan sistem transjakarta sehingga menyebabkan jarak antar bus tidak imbang, kadang lama, terkadang pula sangat-sangat lama menunggunya.
Pagi tadi saya mengalami sendiri bagaimana waktu tunggu bus transjakarta terlalu lama lebih dari 15 menit padahal tidak ada antrean penumpang di halte Tosari. Dan pada saat bus yang saya tumpangi melintas di Jalan Sisingamangaraja, terlihat sekitar 5 bus transjakarta dari arah Blok M saling beriringan bahkan ada yang saling salip bak Metromini.
Nah, yang beginian kan sangat aneh. Sementara di banyak halte penumpang lama menunggu, ini bus transjakarta hobinya bergerombol. Lagi-lagi bak Metromini.
Mentalitas dan jiwa Metromini ternyata perlahan tapi pasti menular ke bus transjakarta. Jadi jangan salahkan masyarakat jika kini lebih tertarik naik ojek online alias Ojol. Manajemen transportasi di Jakarta nyatanya belum maksimal dan mungkin Ahok perlu lebih keras lagi marah-marah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H