Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Catatan

LDR Story: Mengejar Momen Kelahiran Anak

17 Februari 2013   06:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:11 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1361081019571392156

[caption id="attachment_236919" align="aligncenter" width="512" caption="Bayi laki-laki kami (foto by widikurniawan)"][/caption] Sekitar pukul 4 dini hari tiba-tiba saya terbangun dengan perasaan aneh. Saat melihat ponsel, saya terkejut mendapati belasan kali miscall dan sebuah SMS dari istri yang berada di Depok. Mungkin saya terlalu lelap tertidur sehingga tidak mendengar HP berbunyi. Jantung ini terasa mau copot saat membaca pesannya bahwa dia sudah berada di klinik bersalin sejak tengah malam. Saya termangu sejenak sambil memegang tiket pesawat yang mestinya akan membawa saya terbang dari Kendari menuju Jakarta seminggu berikutnya. Saya langsung tahu bahwa tiket tersebut bakal hangus jika saya mempercepat keberangkatan pada hari itu. Rupanya hari perkiraan lahir (HPL) istri saya maju dua minggu lebih cepat dan faktor inilah yang membuat berantakan rencana kepulangan dan juga jadwal cuti saya. Sejak Subuh saya berburu tiket baru dan ternyata saya bisa mendapatkan untuk jadwal keberangkatan jam 11 siang, itupun harus transit dulu di Makassar. Saat transit saya mencoba menghubungi istri dan rupanya dia belum melahirkan. Sekitar pukul 16.00 saya tiba di Soekarno-Hatta dan langsung berlari mencegat taksi yang akan membawa ke Depok. Pada sopir taksi saya bercerita tengah mengejar momen kelahiran anak saya. Ia pun paham dan bak adegan di sebuah film, ia pun menggenjot taksinya dengan kecepatan tinggi dan mencari jalan yang sekiranya tidak macet. Syukurlah sebelum azan Maghrib berkumandang, saya telah sampai di klinik tempat istri saya berjuang menahan rasa sakit. Perawat dan juga dokter di klinik sempat memandang saya dengan heran. Saat itu penampilan saya mungkin sudah terlalu dekil, kusam, bau dan berkeringat. Sejak pagi buta saya berjibaku mengejar waktu supaya bisa mendampingi istri saat persalinan. “Oh, ini toh suaminya? Habis dari hutan Mas?” celetuk salah satu dari mereka. Sepertinya takdir berkata bahwa saya harus ada saat anak saya lahir. Sekitar 3,5 jam berikutnya seorang bayi laki-laki mungil lahir dengan tangisan keras. Sebuah kebahagiaan sebagai seorang ayah ketika bisa melihat proses kelahiran anak, melihat senyum pertamanya dan mengumandangkan azan untuknya. Saya bahkan tak merasakan lagi lengan saya yang sakit dan lecet-lecet karena gigitan serta cengkeraman istri saya saat ia mencoba mengalihkan rasa sakitnya saat melahirkan. Kisah yang terjadi sekitar tiga tahun lalu itu tentu tak akan pernah terlupakan dari memori saya. Dari bermacam cerita suka dan duka dalam hubungan jarak jauh, mungkin momen kelahiran anak saya itulah yang paling berkesan. Saya meninggalkan istri untuk bekerja di Kendari ketika usia kehamilannya menginjak empat bulan. Tentu saja hal yang berat bagi kami menjalaninya. Saya harus konsentrasi bekerja, sedangkan istri harus berjuang dengan kehamilannya. Begitu pula usai melahirkan, dua minggu kemudian saya harus balik ke Kendari sedangkan istri saya harus merawat bayi kami. Banyak permasalahan yang mendera kami, terutama karena inilah pertama kali kami memiliki bayi. Bayangkan betapa repotnya istri saya, betapa berat bebannya secara fisik dan psikis. Selama masa-masa itu saya harus meluangkan waktu untuk selalu meneleponnya tiap hari. Sekedar menanyakan keadaan dan menguatkan hatinya. Saya pun berusaha untuk bisa pulang setiap dua bulan sekali. Situasi tersebut bertahan hingga anak saya berumur 2,5 tahun, hingga akhirnya kami memutuskan untuk hidup bersama lagi di Kendari hingga saat ini. Kepercayaan, kejujuran dan keikhlasan adalah kunci utama bagi kami untuk bisa bertahan saat hubungan harus terpisah lautan luas. Jika kami tidak saling memegang kepercayaan, mungkin yang terjadi adalah saling curiga berlebihan tanpa alasan yang berujung pada pertengkaran di telepon. Begitu pula jika tidak ada landasan kejujuran, tentu niat baik salah satu pihak akan percuma jika pasangannya tidak terbuka dan jujur. Hubungan jarak jauh alias LDR (Long Distances Relationship) juga harus dilandasi keikhlasan menjalaninya, bila tidak tentu saja berpengaruh pada semangat yang ujung-ujungnya adalah lontaran keluhan pada kondisi dan situasi tersebut. Sebuah tips lagi yang bisa saya bagi adalah jangan pernah lupa tanggal-tanggal penting saat menjalani hubungan jarak jauh. Tanggal penting bisa berupa hari ulang tahun, hari jadian dan tentu saja hari ulang tahun perkawinan. Selain ucapan sebagai tanda kita peduli dan selalu ingat, tidak ada salahnya memberikan kejutan kecil seperti mengirimkan kado. Tak perlu repot mencari dan membungkusnya, toh kini banyak bertebaran toko online, tinggal pilih barang, bayar dan kirim kepada pasangan kita. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun