Suatu ketika saya bercerita kepada dua rekan saya tentang sebuah tulisan saya di Kompasiana. Dari dua orang rekan ini, yang satu manggut-manggut sambil senyum, yang satunya lagi berkomentar:
"Wah, untung Pak Anu itu nggak langganan koran Kompasiana ya? Coba kalau dia baca..." ujarnya.
Lho? Sesaat saya terdiam. Saya kemudian mengalihkan ke topik lain daripada mengoreksi komentarnya. Sempat geli juga sih, membayangkan Kompasiana dikira sebuah koran yang bisa dijual langganan maupun eceran.
Suatu saat yang lain, rekan saya yang lain menelepon. Ia saat itu sedang membaca tulisan saya dan ingin memberikan komentar.
"Kok nggak bisa sih gue koment? Gimana caranya?"
"Ya elu register dulu donk, gampangnya kayak pertama elu buat facebook dulu..." jawab saya.
"Ah, trus kalau udah jadi member gimana tuh?"
"Ya, coba-coba nulis apa kek..."
"Nulis curhat boleh ya?"
Lain lagi dengan cerita istri saya saat chatting dengan rekannya. Ketika istri saya bilang bahwa saya kerap menulis di Kompasiana, si teman malah menyahut.
"Lho, suamimu wartawan Kompas toh?"