Saat menulis postingan ini, televisi di depan saya terpaku pada channel Trans TV dengan sajian "Indonesia Mencari Bakat". Selama ini memang saya tidak pernah mengikuti acara ini secara utuh, hanya sepotong-sepotong saja. Namun, kali ini saya baru tersadar bahwa acara ini terlalu lama dan berlebihan. Bukankah sebuah ajang perlombaan semacam ini bisa langsung ketemu juaranya dengan mudah? Tanpa harus disiarkan lama, berulang-ulang kontestannya itu-itu melulu. Penonton bisa jenuh juga kan?
Ketika baru saja berpikir demikian, kebetulan saya temukan sebuah tweet dari seorang tokoh yang intinya ia merasa jengkel dengan Trans TV karena setelah berbulan-bulan mengikuti acara ini, bukannya bakat yang dicari, tetapi SMS lah yang dikejar.
Saya langsung setuju dengan pendapat tersebut. Acara ini seperti sengaja diulur-ulur sampai tidak jelas lagi kapan berakhirnya. Sepertinya pihak televisi menerapkan aji mumpung. Mumpung masih disukai, mumpung ratingnya tinggi, mumpung dibicarakan orang banyak maka kalau bisa selama mungkin acara ini berlangsung. Makin lama berlangsung artinya makin banyak keuntungan dari iklan dan SMS yang masuk.
Hmm... saya sebenarnya kasihan dengan Brandon, salah satu peserta yang masih bertahan. Hingga detik ini, anak seusia dia terus menjadi sorotan. Ia terus menari dengan gaya dan koreografi yang mesti berganti tiap minggu. Lalu apakah anak seperti Brandon tetap memiliki waktu untuk bermain? Apakah ia masih sebebas dulu? Pertanyaan inilah saya yang belum tahu jawabannya.
"Indonesia Mencari Bakat" sebenarnya sudah menemukan bakat-bakat istimewa pada diri para pesertanya. Namun sayangnya bakat-bakat merekalah yang dieksploitasi demi mencari keuntungan bisnis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H