Tahun 2015 ini diperkirakan target penerimaan pajak Pusat yang dipatok sebesar Rp 1294 Trilyun bakal tidak tercapai. Sebenarnya ini bukan hal yang aneh, sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2014, target Penerimaan Pajak Pusat yang ditetapkan dalam APBN hanya tercapai sebanyak 1 kali yaitu tahun 2008 (Ya..hanya 1 kali...anda tidak salah baca). Selebihnya penerimaan pajak selalu meleset dari target.
Berbagai alasan dikemukakan untuk menjawab pertanyaan kenapa target penerimaan pajak tidak tercapai, mulai dari target pajak yang dipatok terlalu tinggi, pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibanding asumsi APBN sampai kondisi ekonomi global yang memburuk.
alasan diatas bisa jadi benar, tetapi hal tersebut tidak menutup fakta bahwa kinerja Ditjen Pajak sebagai otoritas yang dibebani untuk mengumpulkan Pajak Pusat di Indonesia belum memuaskan.
Meski penerimaan Pajak Pusat secara nominal meningkat yaitu dari sekitar Rp 210 Trilyun di tahun 2002, menjadi Rp 658 Trilyun di tahun 2008 dan Rp 981 di tahun 2014, namun secara tax ratio (Perbandingan antara jumlah pajak yang diperoleh negara dibandingkan PDB) mengalami stagnasi di kisaran 11% - 12 %.
Otoritas Perpajakan di indonesia sampai saat ini memang dipandang belum sebaik otoritas pajak di negara lain yang dianggap sebagai best practice seperti Jepang dan amerika serikat. Terlepas dari masih belum tepatnya definisi Tax Ratio, harus diakui bahwa pemungutan pajak di Indonesia belum seoptimal negara lain.
Tidak tercapainya target Penerimaan Pajak Pusat dan stagnasi tax ratio bisa menjadi indikator utama bahwa perlu dilakukan perubahan yang signifikan terhadap otoritas perpajakan di Indonesia.
Bubarkan Pajak
apakah tidak sebaiknya otoritas pajak di Indonesia dibubarkan saja ? mungkin itu yang terbersit di benak masyarakat. untuk apa mempertahankan sebuah lembaga yang telah terbiasa gagal.
soal terbiasa gagal itu fakta, tetapi sebelum bicara pembubaran perlu kita lihat dulu seperti apa sebenarnya kondisi otoritas perpajakan negeri ini dibandingkan dengan negara lain.
agar lebih fair mari kita bandingkan beberapa aspek antara otoritas pajak di Indonesia dengan otoritas pajak di luar negeri yaitu terkait dengan Tax Collection cost (Biaya Pemungutan Pajak), Sumber Daya manusia, coverage dan Kewenangan.
Tax Collection cost
saat ini anggaran yang diterima oleh Ditjen Pajak hanya mencapai 0,7 % dari jumlah Pajak yang harus dikumpulkan oleh Ditjen Pajak. ini artinya tax collection cost alias biaya pemungutan pajak Ditjen Pajak adalah 0,7 % jauh dibanding otoritas pajak di negara lain yang tax collection costnya mencapai 3 %. artinya Tax collection cost Ditjen pajak hanya 1/4 dari lembaga sejenis di negara lain. tentu tidak logis menuntut tax ratio setara dengan negara lain tetapi biaya pemungutannya hanya 1/4 dari negara lain.
jangan bandingkan dengan tax collection negara lain dong....mungkin itu yang terllintas di benak kita.
ok...bagaimana jika dibandingkan dengan lembaga lain di dalam negeri ? sebagai gambaran ada lembaga pemungut pajak daerah seperti DPKAD yang memiliki fungsi serupa dengan Ditjen Pajak dan anda mau tahu berapa biaya pemungutannya.....antara 3% sampai 6 %.
Sumber daya manusia
Berdasarkan rilis dari OECD, Indonesia masih kekurangan pegawai Pajak. sebagai gambaran Jerman misalnya dengan penduduk 80 juta jiwa memiliki pegawai pajak sebanyak 110.000 orang. artinya rasionya 1 pegawai pajak melayani 727 penduduk. Jepang dengan penduduk 120 juta, pegawai pajaknya 66.000 alias 1 pegawai untuk 1.818 penduduk. Bagaimana di indonesia ? saat ini tercatat ada 37.000 pegawai pajak padahal penduduk Indonesia lebih dari 240 juta, sehingga rasionya adalah 1 pegawai pajak untuk 6.486 jiwa.
Dalam kurun waktu 2008 sampai 2012 saja terjadi peningkatan jumlah Wajib pajak terdaftar yaitu 10,67 juta di tahun 2008 melejit menjadi hampir 25 juta Wajib Pajak di tahun 2012. itu artinya terjadi peningkatan hampir 2,5 kali lipast sedangkan jumlah pegawai pajak relatif tidak berubah. ini menggambarkan bahwa tugas pegawai pajak di Indonesia menjadi makin berat.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa kekurangan pegawai bisa ditanggulangi dengan memanfaatkan Tekhnologi Indormasi (IT) .
tunggu dulu bung...apakah anda meragukan kualitas IT Jepang dan Jerman ? dengan kualitas IT yang jauh lebih baik pun ternyata Jepang dan Jerman masih memerlukan pegawai yang lebih banyak dibanding Indonesia. Ini berarti meskipun IT bisa sangat membantu tetapi penambahan pegawai tetap diperlukan agar menuju ideal.
Coverage
Sampai saat ini masih banyak daerah yang belum terjangkau pemungutan pajak. Setidaknya masih ada 50 kabupaten/kota yang tidak memiliki Kantor Pelayanan Pajak. Selama ini pengurusan pajak di kabupaten/kota tersebut dikelola oleh kantor pajak yang wilayah kerjanya meliputi 2 kabupaten/kota bahkan lebih. ini artinya Pengurusan Pajak Pusat di lebih dari 50 kabupaten/kota tersebut belum optimal.
Selain itu masih terdapat beberapa Kantor Wilayah yang wilayah kerjanya meliputi beberapa propinsi. Hal ini tentu saja mengakibatkan pemungutan pajak menjadi tidak optimal.
Apabila kita menginginkan Tax Ratio meningkat, tentu saja coverage otoritas pajak juga harus lebih luas. dengan basis pajak yang lebih luas tentu penerimaan pajak juga akan meningkat.
Pajak tidak bisa lagi hanya mengandalkan Wajib pajak yang itu-itu saja. Disamping akan menimbulkan kesan Pajak cuma berburu dikebun binatang, memperluas basis pajak sangat penting demi keadilan masyarakat. Tidak adil apabila anda membayar pajak sementara tetangga anda dengan kemampuan ekonomis yang setara tidak membayar pajak.
Kewenangan
Ditjen Pajak sebagai otoritas Pajak di negeri ini dituntut untuk mencari dana demi membiayai pembangunan. Target penerimaan Pajak tahun 2015 sudah menembus angka Rp 1.294 Trilyun atau hampir 70 % dari APBN. Dengan tuntutan target sebesar itu sudah selayaknya Ditjen Pajak dibekali dengan kewenangan yang setara dengan otoritas pajakyang dijadikan sebagai pembanding. bukan seperti sekarang dimana Ditjen Pajak hanya memiliki 5 kewenangan, jauh lebih sedikit dibanding otoritas pajak lainnya yang mencapai 9 kewenangan.
dengan kewenangan yang memadai tentu Ditjen Pajak akan memiliki amunisi yang memadai untuk mencapai target penerimaan Pajak sekaligus meningkatkan tax artio.
Ditjen Pajak yang memiliki kewenangan setara dengan otoritas pajak lain di dunia bukan untuk membuat Wajib pajak yang sudah patuh menjadi tidak nyaman. Kewenangan itu diperlukan agar ditjen Pajak bisa survive dan memungut pajak di "hutan belantara" bukan hanya di kebun binatang.
Tanpa kewenangan yang memadai tentu tidak elok melimpahkan semua kesalahan kepada otoritas pemungut pajak.
jadi apakah kita harus membubarkan pajak ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H