Mohon tunggu...
Widi Handoko
Widi Handoko Mohon Tunggu... Konsultan - Statistisi Ahli Muda

Data untuk kita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Proyeksi Penduduk 100 Tahun Merdeka

12 Oktober 2018   09:30 Diperbarui: 12 Oktober 2018   09:39 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jum'at, 24 Agustus 2018, di Gedung II Istana Wakil Presiden RI dilaksanakan peluncuran Buku Proyeksi Penduduk 2015-2045. Buku tersebut merupakan hasil kerjasama Bappenas, BPS dan UNFA, dimana proyeksi yang dihasilkan menggunakan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 sebagai dasar perhitungan. 

Proyeksi ini ditujukan guna memenuhi kebutuhan Rencana Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024, Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs dan Visi Pembangunan 2045.

Perananan proyeksi penduduk begitu penting dalam pengambilan kebijakan, karena pada dasarnya setiap kebijakan yang diambil adalah demi peningkatan kesejahteraan penduduk. Tentu sangat sulit dapat menyejahterakan penduduk, jika tidak mengetahui jumlah dan karakteristik dari penduduk itu sendiri. 

Proyeksi juga penting guna pencapaian SDGs yang memiliki paradigma leaving no one behind artinya dalam pembangunan berkelanjutan tidak ada kelompok yang tertinggal, seluruh kebijakan yang diambil harus dapat merangkul semua dan komperensif. 

Selain itu dalam proyeksi juga dihitung penduduk dan karakteristiknya sampai level Provinsi, hal ini penting untuk mengetahui sebaran penduduk dan dalam pengambilan kebijakan yang bersifat spasial.

Pada proyeksi tersebut dicoba 2 skenario perhitungan, skenario pertama menggunakan asumsi total fertility rate (TFR) tetap mulai tahun 2020 sebesar 2,10 dan Infant Mortality Rate (IMR) mengikuti target SDG's, yaitu turun 3 persen tiap tahun dari 2015-2030, serta net migrasi Sebesar -0,5. 

Skenario kedua menggunakan TFR dan IMR yang mengikuti tren data Sensus Penduduk dan SUPAS, serta net migrasi -0,5. Sebagai informasi, TFR adalah rata-rata anak yang dilahirkan perempuan selama masa usia suburnya, IMR adalah banyaknya kematian bayi usia 0 (nol) tahun per seribu kelahiran hidup dan net migrasi adalah banyaknya migrasi selama setahun per seribu penduduk, nilai negatif pada net migrasi berarti lebih banyak penduduk yang keluar dibandingkan yang masuk. 

Tidak dijelaskan skenario mana yang lebih akurat, namun sepertinya dengan mempertimbangkan kebijakan dan program kerja yang akan dilakukan pemerintah maka digunakan skenario pertama.

Berdasarkan proyeksi pada tahun 2018 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 264 juta jiwa dan pada 2045 menjadi 318 juta jiwa, dengan kata lain terjadi peningkatan sebesar 54 juta jiwa. Peningkatan jumlah penduduk yang besar, nilai ini setara dengan tiga kali jumlah penduduk Belanda. Dengan mengetahui jumlah penduduk di masa depan, Pemerintah dapat mengambil kebijakan dengan lebih terarah. 

Dari sisi pangan, beras misalnya. Konsumsi beras perkapita sebesar 114 kg/tahun, dengan penambahan 54 juta jiwa, dibutuhkan tambahan beras sebanyak 6,2 juta ton setahun. Padahal sampai saat ini produksi beras masih jauh dari surplus, hal ini diketahui dari impor beras yang dilakukan. Tahun ini saja, Indonesia akan mengimpor beras sebanyak 2 juta ton. 

Untuk itu perlu usaha serius dalam menangani masalah yang satu ini, peningkatan luas tanam atau diversifikasi makanan pokok dapat menjadi solusinya. Selain beras, informasi kebutuhan komoditas-komoditas lain secara rinci di masa mendatang juga dapat dihitung dengan cara yang sama. Dengan mengetahui informasi tersebut seharusnya kebijakan yang berkaitan pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan lebih terukur dan matang.

Dilihat dari kelompok umur lansia, pada tahun 2018 jumlah penduduk lansia di Indonesia sebanyak 26 juta jiwa, meningkat hampir tiga kali pada 2045 menjadi 63 juta jiwa. Lansia menurut World Health Organisation (WHO) adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. 

Secara alamiah lansia akan mengalami penurunan fungsional dan kesehatan. Penurunan fungsional pada lansia berarti juga penurunan produktifitas dalam hal bekerja, yang tentunya mempengaruhi kondisi ekonomi lansia. Untuk itu perlu disiapkan jaminan pensiun atau jaminan hari tua bagi pekerja saat ini, hal ini penting untuk masa tua mereka yang agar tidak mengalami masalah ekonomi. 

Mirisnya, jika dilihat data kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan per Agustus 2018 baru ada 48,4 juta pekerja yang terdaftar, sangat jauh dibawah jumlah orang bekerja pada Februari 2018 yang sebanyak 127,07 juta orang.  

Selanjutnya, penurunan kesehatan pada lansia maksudnya lansia menjadi lebih mudah sakit, untuk itu lansia seharusnya memiliki jaminan kesehatan yang memadai. Namun berdasarkan data Susenas Maret 2017 jumlah penduduk yang memiliki jaminan kesehatan baru 66,5 persen, jauh dari target Nasional yaitu 100 persen pada 2019.

Selain itu, masalah lain yang dihadapi lansia adalah kondisi psikologis. Makin mengecilnya jumlah anggota rumah tangga, yang makin mengarah kepada keluarga inti, membuat lansia kurang mendapat perhatian. Tidak sedikit lansia saat ini dititipkan ke panti jompo, karena ketiadaan waktu keluarganya untuk merawat. Padahal dengan berada ditengah-tengah keluarga dapat mengurangi beban psikologis lansia tersebut. 

Dengan mengetahui hal ini pemerintah dapat mengambil kebijakan yang mengarah pada perbaikan kondisi lansia di masa mendatang. Meningkatkan kepesertaan jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan serta penanaman kembali nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga dapat menjadi solusinya.

Proyeksi juga menunjukkan puncak bonus demografi akan dialami Indonesia pada tahun 2021-2022, dan berakhir pada tahun 2037. Secara matematis, bonus demografi terjadi ketika nilai rasio ketergantungan kurang dari 50. Rasio ketergantungan adalah perbandingan jumlah penduduk usia produktif yaitu penduduk usia 15-64 tahun dengan jumlah penduduk usia non produktif yaitu penduduk usia 0-14 tahun dan penduduk usia 65 tahun lebih. Perlu dicatat, Bonus demografi hanya akan datang sekali dalam sejarah sebuah Negara.

Bonus demografi sejatinya adalah peluang sebuah Negara untuk melakukan akselerasi pembangunan, namun demikian peluang tersebut dapat menjadi sebuah ancaman jika tidak dikelola dengan benar. Dengan jumlah penduduk usia produktif yang banyak, seharusnya sebuah Negara mampu menumbuhkan ekonominya menjadi lebih cepat, namun demikian kualitas penduduk menjadi penentu keberhasilan dalam mengambil peluang tersebut. 

Salah satu parameter kualitas penduduk tercermin dari pendidikan. Di Indonesia, penduduk usia 15 tahun ke atas pada tahun 2017 baru 36,00 persen yang memiliki ijazah SMA/sederajat atau Perguruan tinggi, sisanya 21,84 persen memiliki ijazah SMP/sederajat, 27,83 persen memiliki ijazah SD/sederajat, bahkan masih ada 14,34 persen yang tidak memiliki ijazah.

Selain penyiapan SDM, penyiapan dunia kerja menjadi hal penting lainnya dalam memanfaatkan momentum Bonus demografi. Berdasarkan rilis data ketenagakerjaan Februari 2018 di Indonesia jumlah orang bekerja ada sebanyak 127,07 juta jiwa, dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebesar 69,20, jika dirinci menurut jenis kelamin TPAK laki-laki sebesar 83,01 dan perempuan 55,44. Selanjutnya, penganggur ada sebanyak 6,87 juta jiwa, dengan tingkat pengangguran terbuka 5,13. 

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui, pertama masih rendahnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja dan kedua masih banyak lapangan pekerjaan yang perlu diciptakan. Dengan mengetahui gambaran SDM dan ketenagakerjaan saat ini sudah sepatutnya dilakukan percepatan peningkatan SDM dan penciptaan lapangan, agar bonus demografi tidak berubah menjadi bencana demografi. 

Langkah yang dapat diambil seperti pemberian pelatihan kerja, pelatihan kewirausahawan, mempermudah investasi, sertifikasi keahlian, beasiswa sekolah, penyesuian kurikulum sekolah dengan dunia kerja, dan meningkatkan peran perempuan dalam perekonomian.

Selain permasalahan yang telah diulas diatas, masih banyak hal lain seperti ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan, perumahan, sanitasi, keamanan, politik, lingkungan dan lain sebagainya. yang dapat dikaji dari proyeksi. Namun demikian, diperlukan waktu dan kajian yang mendalam untuk membahasnya satu per satu. Pada akhirnya keberhasilan tujuan penyusunan proyeksi tergantung pada tiga hal. 

Pertama, asumsi yang ditetapkan benar terjadi, dalam hal ini TFR dan IMR. Perlu evaluasi secara berkala terhadap capaian kedua asumsi tersebut agar sesuai dengan skenario yang ditetapkan. Kedua, pemangku kepentingan benar-benar menggunakan angka proyeksi sebagai dasar pengambilan kebijakan. 

Ketiga, kebijakan yang diambil benar-benar efektif serta komperansif dalam mengatasi permasalahan yang akan terjadi. Akhir kata, semoga dengan diluncurkannya Buku Proyeksi Penduduk 2015-2045, dapat membuat kebijakan yang diambil menjadi lebih baik dan pada akhirnya kesejahteraan untuk seluruh penduduk dapat terwujud.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun