"Jadi istri saya dan bayi didalamnya sehat kan dok?"
"Tentu saja pak Doni, istri anda sepertinya tau betul bagaimana mempersiapkan diri menjadi seorang ibu".
"Iya dok, istri saya memang cerdas, lain dengan saya"
"Akh pak Doni ini terlalu merendah, bisa memberi istri kado paling berharga apa itu tidak cerdas pak?"
Pembicaraan 2 orang lelaki dewasa pun ditutup dengan tawa. Seraya Isni keluar dari ruang periksa di temani sang suster, kami pun berpamitan pada pak dokter.
8 bulan lagi aku akan menjadi ayah. Astaga perasaan suka ini begitu hebat bergemuruh di hati. 2 tahun kami menikah akhirnya Tuhan mempercayai kami dengan menitipkan makhluk mungil yang sekarang sedang bersemayam di perut Isni. Kupandangi Isni lekat-lekat, ku elus-elus perutnya yang sebetulnya belum buncit, karena usia kehamilannya baru menginjak 4 minggu. Terima kasih Isni, kau telah menyempurnakan hidupku.
Sore ini seperti biasa kuantar Isni pulang ke Jakarta. Senin adalah hari dimana Isni harus memulai lagi semua rutinitasnya setiap hari. Yah bekerja, itulah yang dilakukan Isni di Jakarta yang sudah 4 tahun memisahkan kami sejak kami berpacaran. Biasanya aku akan menginap untuk 1 sampai 2 hari di apartementnya. Tapi hari ini lain, aku ingin terus menerus disamping Isni, menjaganya, merawatnya, melihat perkembangan perutnya. Akhirnya kuputuskan untuk menginap seminggu dan menitipkan cottage kepada teh Nisa kakakku. Semua anggota keluargaku turut bersuka cita atas kabar kehamilan Isni, terlebih ibu. Dia yang paling tak sabar ingin segera menimang cucu dari anak bungsunya yang ganteng ini.
Seminggu berlalu, kulewati setiap hari bersama istriku. Pagi hari kubuatkan ia sarapan, kuantar ia ke kantornya, sore kujemput lagi lalu kami makan malam di restaurant terdekat. Malamnya kumanjakan istriku, kupijat-pijat ia, ku usap-usap ia, kuberikan semua kelembutan-kelembutan untuknya. Ku ciumi ia, tapi tak berani kubawa ia tamasya hingga puncak. Begitu derap keinginan itu membahana, aku langsung teringat pesan ibuku.
"Don, kamu jangan galak-galak ya sama Isni, kalau bisa kamu tahan aja sampai usia kehamilannya 4 bulan. Ibu khawatir, karena Isni perempuan bekerja ia menghabiskan banyak energi, sementara janin usia 1 sampai 3 bulan itu masih sangat rentan. Ibu gak mau terjadi apa-apa sama Isni dan cucu ibu. Makanya kamu harus bisa nahan, kalaupun ga tahan, jangan dikasih gerakan yang terlalu heboh. Inget itu Don, jangan terlalu semangat!"
Oh man, menahan sampai 3 bulan kedepan???? bisa-bisa lupa cara bercinta nih! Tapi yasudahlah, demi istri dan bayiku, aku rela melakukannya sendiri saja, teman-teman bilang manual saja dulu.
"Ok ibu, anakmu yang ganteng ini akan menuruti nasihat ibu"
Intensitas yang penuh kualitas ini membuat aku melupakan sesuatu, ah bukan sesuatu, tepatnya seseorang. Weekend ini kami pulang bersama-sama ke Bandung, liburan kami habiskan bercengkrama dengan anggota keluargaku juga keluarga Isni. Minggu sore Isni akan kuantar pulang lagi ke Jakarta, dan kali ini mau tak mau aku harus meninggalkan Isni sendirian lagi di Jakarta. Tidak mungkin terus-terusan kutitipkan cottaage pada teh Nisa, ia sendiri punya kesibukan dengan kehidupannya. Oh man rasanya tidak rela meninggalkan Isni sendirian dalam keadaan hamil muda. Tapi apa mau dikata, aku mengurus bisnis keluarga di Bandung, satu-satunya lahan usaha yang menjadi sumber penghasilan kami dan telah menghidupi kami selama puluhan tahun. Sementara Isni bekerja di Jakarta karena memang ia ingin bekerja. Lagi-lagi kurelakan saja keadaan ini. Semenjak Isni hamil, aku lebih terlihat seperti setrikaan sangat sering mondar mandir Bandung-Jakarta dan kali ini lebih sering menginap di Jakarta.
Hari ini kami merayakan 7 bulan usia kandungan Isni, kami mengadakan syukuran dan upacara 7 bulanan di kediaman orang tua Isni. Aku mengundang beberapa teman dekatku semasa kuliah. Suasana rumah Isni tidak terlalu ramai karena ini hanya syukuran biasa tidak banyak mengundang orang, hanya kerabat terdekat saja. Didit temanku datang sendirian, beberapa teman yang lain datang bergandengan dengan pasangan masing-masing. Sepintas aku teringat masa lalu bersama mereka. Pria-pria ingusan pencari jati diri, aku mengulum senyum melihat mereka. Ada yang ingin kutanyakan kepada mereka tapi hentakan kebahagiaan ini membuatku tak lagi perlu menanyakan dia. Dia gadis mungil yang membuatku sulit hidup normal bersama Isni, dia gadis mungil yang menghabiskan malam demi malam bersamaku di blok-s ketika istriku di Jakarta. Dia, dia, dia, Amaya, bagaimana kabar dia? masih menjadi budak mamih kah? masih cantik kah? masih santun kah? Apa dia masih ingat aku? atau apakah dia masih menungguku? Tiba-tiba saja mataku terasa panas, sesuatu meleleh disana, dan nyaris menetes. Ya ampun sisi femininku sedang dominan.
6 bulan yang lalu semenjak Isni mengandung, aku putuskan berhenti menemui Amaya, sudah saatnya aku hidup normal. Aku akan menjadi ayah. Aku tinggalkan Amaya tanpa perpisahan, bahkan secarik kalimat bye bye pun tak kuberikan. Aku yakin Amaya akan baik-baik saja. Aku pun mulai dengan segudang kesibukanku mendampingi Isni, aku mulai memudarkan Amaya dari ingatanku. Hari berganti waktu berlalu, Amaya luntur seperti jejak kaki di pasir pantai yang tersapu ombak, rata tak berbekas. Benarkah semudah itu aku memudarkan Amaya? ah sudahlah dia pasti akan menemukan kebahagian dengan caranya sendiri.
Ditengah-tengah riuhnya acara, Didit menghampiriku membisikkan sesuatu di telingaku. Otot-otot kakiku tiba-tiba melemas, dadaku sesak bukan kepalang, pandanganku nanar menatap Isni dan perutnya yang kian membuncit. Tuhan jangan rampas kebahagiaan mereka aku mohon, seketika juga aku menghambur keluar rumah kubiarkan yang sedari tadi meleleh berjatuhan menggenangi pipiku. Ini bukan sisi femininku, siapapun akan remuk redam mendengar kabar ini. Ingin mati saja rasanya, tak seharusnya aku melimpahkan dosa ini kepada istri dan bayi kami. Didit mengikutiku dan menyuruhku tenang. Didit bilang aku harus periksakan ke dokter.
Ya, aku pasti akan periksa, tapi tanpa harus aku periksa aku sudah memiliki keyakinan itu. Bersama Amaya bukan sekali atau dua kali saja. Aku tak pernah peduli siapa saja yang menjadi penikmatnya, yang kupikirkan hanya aku ingin bersamanya, menghiburnya, dan menikmatinya tanpa keraguan. Bahkan tanpa karet pelindung. Ajaib jika aku tidak seperti Amaya. Madu itu kureguk setiap saat sampai akhirnya aku keracunan. Dan lihatlah istriku kini tengah hamil.
"Don, Amaya sudah 1 bulan di rumah sakit. Dia sifilis sudah tahap tersier. Suspectnya dia sudah tejangkit HIV.
Bisikan Didit yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H