Mohon tunggu...
Widianti Riss
Widianti Riss Mohon Tunggu... -

Football lovers, Traveling addict, Photography eaters, admirer of Lan Fang.\r\nsee me @rissmot\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buku Nikah Miranti

19 Mei 2012   05:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:06 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perilaku dan kebiasaannya normal saja, tidak ada yang salah dengan rumah tangga mereka. Malam untuk tidur, pagi terbangun kembali, makan, bekerja, menonton tv, mengobrol alakadarnya. Malam pertama mereka lakukan sebagaimana pengantin pada umumnya, mereka basah dalam desah, menggeliat dalam pekat nikmat, bertaut untuk memadukan dua tubuh menjadi satu. Kala itu bahagia pun membuncah pada puncak senggama mereka.
"Lalu apa yang ibu permasalahkan? Aku bahagia menjalani hari-hariku yang penuh dengan pengulangan dan pengulangan yang tak tahu kapan akan berubah".
Begitulah perlawanan Miranti terhadap ibunya yang ia bilang, hanya ibu yang bisa menundukkan seribu pria untuk menghujaninya dengan lembar demi lembar rupiah.

Zul hanya sibuk mencari nafkah, tak ada hari yang tak ia lewati dengan bekerja, hari minggu sekalipun akan ia habiskan dengan bekerja di rumah, ia akan berada di ruang kerjanya berjam-jam, dan kalaupun ia tak bekerja, ia akan habiskan dengan tidur seharian dan memanjakan dirinya sendiri dengan caranya sendiri. Bukan bersama Miranti. Kendati demikian Miranti tetap tunduk pada suatu buku yang ia punya yang dikeluarkan KUA lima tahun lalu. Buku itu memenjara ia dari kebahagiaan, mengambil hak-hak ia sebagai seorang manusia utuh, ia hanya hidup untuk buku itu, ia seolah lupa bagaimana rasanya bahagia, ia hanya mau menjalani hari demi buku itu.

Layaknya seorang istri Miranti hanya menunggu, menurut dan melayani. Lebih tepat Miranti dungu. Ah bukan dungu ia tidak dungu. Ia hanya terperangkap dengan pikirannya sendiri. Ia hanya memaksa dirinya mencari kebahagiaan yang sebetulnya ia sendiri tak tahu seperti apa kebahagiaan yang ia inginkan. Yang ia tahu hanyakah ia ingin memiliki Zul, ia hanya ingin buku itu yang pada akhirnya menyatukan mereka dalam sumpah. Dengan demikian Miranti merasa ia telah memenangkan pertarungan.

Miranti tak pernah tahu bahwa cinta itu lahir dari kenyamanan dan kebahagiaan. Yang ia tau hanyalah berakal bulus, ia hanya mampu berpikir bagaimana menjauhkan dirinya dari sang ibu yang teramat menyayanginya. Zul yang ia lihat sebagai lelaki sempurna sungguh menyelamatkan ia dari bencana yang akan memasungnya seumur hidup bersama sang ibu. Label perawan tua tak akan hinggap lagi. Cerca dan kata-kata nyinyir ibu tak akan lagi ia dengar. "Terima kasih Zul aku mencintaimu". Zul laki-laki tampan dan mapan. Ia tak banyak menolak pun tak banyak menuntut, baginya memiliki sebuah buku nikah dan diakui dunia bahwa ia seorang suami sudah lebih dari cukup. Zul tak perlu cinta, tak perlu harmonis, tak perlu buah hati. Ia hanya perlu pengakuan.

Lima tahun meraka menikah, tak lebih dari 10 kali mereka bercinta.
"Hey Miranti, jangan-jangan kau sudah perawan lagi bertahun-tahun tak pernah dijamah suamimu"
Suara ibunya berteriak di relung hatinya. Tapi Miranti wanita bermoral ia tetap menjaga kesucian untuk suaminya, sekalipun selaput dara itu akan terbentuk lagi.
"Kau dungu ya nak, tak pernahkah kau curiga suamimu punya simpanan di luar sana?"
Lagi-lagi kalimat nyinyir ibunya bermain-main di otaknya.
"Tidak ibu aku tidak pernah cemburu pada wanita manapun, aku percaya suamiku. Ia tak akan bermain wanita. Ketahuilah ibu wanita sesempurna ibu pun ia tak akan mau, ia tak akan tergoda dengan payudara kenyal membusung seperti yang ibu punya, ia tak akan tertarik dengan kemolekan tubuh biola ibu, tengkuk berbulu halus, bibir merah ranum, mata bulat nan jernih, semua kecantikan itu tak akan menggodanya. Ia hanya tergoda oleh tubuh kekar nan gagah".
"Aku tak pernah minta Tuhan memberiku anak dungu sepertimu Miranti, kenapa kau tega menyiksa hidupmu dengan cara seperti ini?"
Kali ini ibu menangis, tapi kuharap bukan tetesan-tetesan bening itu yang berdesakan keluar dari matanya. Kuharap butiran merah padam yang menyembur dari mata ibu.
"Kau tau bu, tak ada yang paling menyakitkan di dunia ini selain bahasamu, kalimatnya seperti pedang dan samurai menyayatku perlahan, tak berdarah tapi luka-lukanya menganga, kurasakan luka itu kau cuci dengan air cuka".
"Kau usir ayah dan lelaki yang kucintai, lalu kau memenjarakanku dalam tirai kehinaanmu. Tidakkah kau tau ibu, rumah kita begitu sejuk tapi kupikir neraka tidak selalu panas".
"Ibu sungguh kau tak perlu risau. Aku sudah terlalu cerdas memanjakkan pedihku karena ulahmu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun