Mohon tunggu...
Widian Rienanda Ali
Widian Rienanda Ali Mohon Tunggu... Insinyur - Kuli Proyek

Andai mengangkasa tidak semudah berkhianat, pasti akan lebih banyak kisah kebaikan yang dapat ditorehkan dan dilaporkan kepada Tuhan untuk menunda datangnya kiamat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyelami Ketidakpastian: Filsafat dan Kosmologi dalam Pencarian Kebenaran

3 Februari 2025   10:08 Diperbarui: 3 Februari 2025   10:08 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kosmologi dan Filsafat : Jika tidak berhubungan pasti akan seperti kapal tanpa lambung (Meta AI : 2025)

Kosmologi dan filsafat adalah dua bidang yang sering kali berinteraksi dalam upaya memahami hakikat eksistensi dan tempat manusia di alam semesta. Kosmologi, sebagai ilmu yang mempelajari asal-usul, struktur, dan evolusi alam semesta, memberikan kerangka ilmiah untuk memahami fenomena-fenomena yang terjadi di luar Bumi. Di sisi lain, filsafat menawarkan refleksi mendalam tentang makna, tujuan, dan nilai-nilai yang mendasari pengalaman manusia. Dalam konteks ini, hubungan antara kosmologi dan filsafat menjadi sangat penting, karena keduanya saling melengkapi dalam pencarian pemahaman yang lebih holistik tentang realitas.

Kosmologi modern, dengan penemuan-penemuan seperti teori Big Bang dan konsep ekspansi alam semesta, telah mengubah cara kita memandang tempat kita di alam semesta. Pengetahuan tentang asal-usul dan struktur kosmos memberikan wawasan baru tentang waktu, ruang, dan materi. Namun, meskipun sains memberikan data dan teori yang kuat, pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna dari penemuan-penemuan tersebut tetap ada. Di sinilah filsafat berperan penting. Filsafat mengajak kita untuk merenungkan implikasi dari pengetahuan kosmologis ini. Apa artinya bagi kita sebagai manusia? Bagaimana penemuan-penemuan ini mempengaruhi pandangan kita tentang kehidupan, kematian, dan tujuan eksistensi?

Salah satu tema sentral dalam hubungan antara kosmologi dan filsafat adalah pertanyaan tentang asal-usul. Filsafat telah lama mempertanyakan apa yang ada sebelum ada sesuatu. Dalam konteks kosmologi, teori Big Bang memberikan penjelasan ilmiah tentang awal mula alam semesta. Namun, pertanyaan filosofis tentang "apa yang ada sebelum Big Bang" atau "apa yang menyebabkan Big Bang" tetap menjadi misteri. Filsafat mengajak kita untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih dalam, termasuk konsep waktu dan ruang itu sendiri. Apakah waktu itu mutlak, ataukah ia merupakan konstruksi yang muncul bersamaan dengan alam semesta?

Selain itu, kosmologi juga menimbulkan pertanyaan tentang tempat manusia dalam skema besar alam semesta. Dalam pandangan kosmologis, manusia hanyalah bagian kecil dari keseluruhan yang sangat luas. Namun, filsafat mengingatkan kita bahwa meskipun kita kecil, pengalaman dan kesadaran kita memiliki nilai yang unik. Filsafat eksistensial, misalnya, menekankan pentingnya pencarian makna dalam hidup, meskipun kita berada di tengah-tengah kosmos yang tampaknya acak dan tidak peduli. Dalam hal ini, hubungan antara kosmologi dan filsafat menjadi refleksi tentang bagaimana kita dapat menemukan makna dalam kehidupan kita, meskipun kita hanyalah sebutir debu di tengah galaksi yang luas.

Lebih jauh lagi, kosmologi juga mengajak kita untuk mempertimbangkan etika dan tanggung jawab kita terhadap alam semesta. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana alam semesta berfungsi, kita dihadapkan pada pertanyaan tentang bagaimana kita seharusnya berinteraksi dengan lingkungan kita. Filsafat lingkungan, misalnya, mengajak kita untuk merenungkan hubungan kita dengan alam dan tanggung jawab moral kita terhadap planet ini. Dalam konteks ini, kosmologi tidak hanya menjadi studi tentang bintang dan galaksi, tetapi juga menjadi panggilan untuk bertindak dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang kita huni.

Apa yang terjadi dengan pandangan negatif terhadap filsafat di kalangan para ahli astrofisika dan kosmologi? Dari pernyataan mendiang Stephen Hawking yang menyatakan bahwa "filsafat sudah mati," hingga kritik panjang Steven Weinberg yang berjudul "Melawan Filsafat" dalam bukunya Dreams of a Final Theory (1992), banyak fisikawan dan astrofisikawan yang menganggap filsafat tidak berguna, atau setidaknya tidak relevan bagi ilmu pengetahuan. Di sisi lain, Hawking dan rekan penulisnya, Leonard Mlodinow, mengemukakan pendekatan penyelidikan ilmiah yang disebut "realitas bergantung model" dalam buku The Grand Design (2010), sementara Weinberg dengan penuh semangat---dan secara filosofis---menentang positivisme logis dan metafisika. Jika filsafat begitu tidak berguna, mengapa Hawking, Weinberg, dan tokoh-tokoh lain seperti Neil deGrasse Tyson dan Lawrence Krauss sering terlibat dalam diskusi filosofis?

Meskipun para penentang filsafat mungkin berpikir sebaliknya, semua bidang ilmu pengetahuan menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab hanya melalui proses ilmiah itu sendiri. Setiap kali para ilmuwan mempertimbangkan cara terbaik untuk menguji sebuah teori, atau merenungkan bagaimana model-model ilmiah berhubungan dengan realitas, mereka sebenarnya sedang melakukan filsafat. Dalam posisinya yang unik sebagai studi tentang keseluruhan eksistensi, kosmologi khususnya dipenuhi dengan teka-teki dan posisi filosofis.

Salah satu keyakinan filosofis yang mendasari kosmologi adalah prinsip kosmologis. Prinsip ini menyatakan bahwa, pada skala besar, alam semesta bersifat homogen (tampak sama di semua lokasi) dan isotropik (tampak sama di semua arah). Sebagai contoh, pandangan dari sebuah kapal di tengah lautan akan bersifat isotropik, tetapi ketika daratan terlihat, pandangan tersebut tidak lagi sama di semua arah. Permukaan laut itu sendiri mungkin bersifat homogen, setidaknya sampai kita mendekati pantai.

Prinsip kosmologis ini sangat mendasar bagi pemahaman kita tentang bagaimana alam semesta berevolusi, mulai dari plasma panas yang seragam dan mendingin hingga membentuk jaring kosmik yang rumit yang kini dapat kita amati melalui teleskop. Untuk mengasumsikan homogenitas dan isotropi di mana-mana, seseorang harus terlebih dahulu merata-ratakan perbedaan kecil yang tidak signifikan, seperti planet-planet dan bahkan galaksi. Oleh karena itu, prinsip kosmologis ini bersifat statistik: ia hanya benar jika diterapkan pada skala yang cukup besar.

Namun, meskipun demikian, prinsip ini mungkin tidak selalu benar. Alam semesta tidak harus bersifat homogen; teori gravitasi Albert Einstein tetap berlaku dengan baik meskipun tidak demikian, dan gravitasi menyebabkan struktur-struktur tumbuh seiring waktu, memperbesar perbedaan-perbedaan kecil yang ada pada awalnya. (Apakah perbedaan-perbedaan awal ini berasal dari "fluktuasi kuantum" partikel virtual yang muncul dan menghilang, atau teori lain yang lebih aneh, masih menjadi perdebatan yang belum terpecahkan.)

Dengan demikian, para ilmuwan berada dalam keadaan penerimaan yang ragu-ragu. Prinsip kosmologis adalah dasar bagi cara kita menggambarkan evolusi alam semesta, namun sejauh ini kita belum dapat membuktikan bahwa prinsip ini harus benar. Upaya untuk mengukur apakah alam semesta bersifat homogen---atau pada skala berapa ia menjadi homogen---telah menghasilkan hasil yang beragam. Namun, isotropi kosmologis telah diamati: radiasi Latar Belakang Gelombang Mikro Kosmik, yang dipancarkan dari seluruh penjuru alam semesta beberapa ratus ribu tahun setelah Big Bang, bersifat isotropik hingga satu bagian dalam 100.000. Secara analog, kapal kita di lautan mungkin melihat perbedaan-perbedaan kecil, seperti gelombang kecil yang berombak, tetapi pandangan tersebut pada umumnya tetap bersifat isotropik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun