Setelah Anda mulai menggunakan konsep ini, Anda tidak jauh dari membangun identitas yang lebih kompleks, dengan preferensi dan kecenderungan. Namun, ini tidak berarti ada entitas substantif yang mengatur semua ini---cukup bahwa dalam setiap kasus ada niat, tujuan, dan kemampuan untuk mengidentifikasi serta mengomunikasikan perilaku yang terkait dengan tujuan tersebut. Mungkin pernyataan "Saya tidak melakukan itu, itu kecelakaan" sebenarnya hanya berarti "Tidak ada niat untuk melakukan itu, itu kecelakaan."
Dalam kerangka ini, filsuf Daniel Dennett mengusulkan bahwa diri hanyalah "pusat gravitasi naratif"---seperti pusat gravitasi dalam objek fisik bukanlah bagian dari objek itu sendiri, tetapi sebuah konsep berguna yang kita gunakan untuk memahami hubungan antara objek dan lingkungannya. Pusat gravitasi naratif dalam diri kita bukanlah bagian dari tubuh kita, melainkan sebuah konsep berguna untuk memahami hubungan antara tubuh kita, dengan semua tujuan dan niatnya, dengan dunia sekitar. Jadi, Anda adalah sebuah konstruksi---meskipun konstruksi yang berguna. Setidaknya, itulah cara Dennett memandang konsep diri.
Pandangan ini tidak hanya dipegang oleh Dennett. Gagasan tentang adanya diri yang substantif kini dianggap usang. Ketika ilmuwan kognitif mencoba menjelaskan konsep diri secara empiris, yang mereka jelaskan hanyalah rasa diri kita---mengapa kita merasa memiliki diri. Yang tidak mereka temukan adalah bukti keberadaan diri dengan kekuatan independen yang mampu mengarahkan perhatian dan menyelesaikan konflik keinginan.
Ada banyak alasan untuk pandangan ini. Salah satunya adalah bahwa banyak ilmuwan percaya bahwa pengalaman kita bersifat epifenomenal---tidak memengaruhi otak kita, melainkan dipengaruhi oleh otak. Dalam pandangan ini, ketika Anda mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan, sebenarnya keputusan tersebut sudah dibuat oleh otak Anda, dan pengalaman Anda hanyalah bayangan dari keputusan itu. Jadi, dalam situasi di mana kita mungkin merasa diri kita paling aktif---seperti dalam pengambilan keputusan yang sulit---sebenarnya semua itu sudah terjadi di dalam otak.
Pandangan ini sering didukung oleh eksperimen otak Benjamin Libet dari tahun 1980-an, atau oleh buku Daniel Wegner The Illusion of Conscious Will (2002). Namun, temuan-temuan ini belum cukup untuk menunjukkan bahwa pengalaman kita benar-benar bersifat epifenomenal.
Membuktikan adanya ilusi kehendak tidak sama dengan membuktikan tidak adanya kehendak.
Percobaan yang dilakukan oleh Benjamin Libet menunjukkan bahwa kita dapat memprediksi pilihan peserta untuk melenturkan pergelangan tangan atau jari mereka melalui pemantauan aktivitas otak sebelum peserta tersebut mengklaim bahwa mereka telah membuat pilihan. Namun, Libet dan peneliti lainnya mencatat bahwa peserta masih memiliki kesempatan untuk mengubah keputusan mereka bahkan setelah prediksi itu dibuat, sehingga dalam beberapa kasus, tidak ada gerakan yang terjadi. Oleh karena itu, tidaklah logis untuk menganggap bahwa prediksi kita berdasarkan pada keputusan akhir yang sudah pasti dibuat oleh otak, yang sepenuhnya berada di luar kendali peserta. (Pertanyaan apakah memilih waktu untuk melenturkan pergelangan tangan atau jari sama dengan membuat keputusan sulit adalah isu lain yang perlu dibahas secara terpisah.)
Buku Daniel Wegner hanya menunjukkan bahwa manusia dapat terpengaruh oleh ilusi kehendak. Sebagai contoh, dalam eksperimen yang menggunakan alat mirip papan ouija, partisipan kadang-kadang melebih-lebihkan pengaruh mereka terhadap alat tersebut, padahal sebenarnya alat itu digerakkan oleh orang lain. Namun, menunjukkan bahwa ada ilusi kehendak bukan berarti membuktikan tidak adanya kehendak sama sekali. Sebagai analogi, kita bisa membandingkannya dengan Ilusi Bulan, di mana kita cenderung melihat Bulan lebih besar saat berada di cakrawala dibandingkan saat berada lebih tinggi di langit malam. Namun, kita tidak menyimpulkan bahwa Bulan tidak ada hanya karena kita melebih-lebihkan ukurannya dalam kondisi tertentu.
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?
Akar utama dari tren ini adalah pandangan dunia kuno yang masih banyak dianut hingga saat ini. Kebanyakan orang sepakat bahwa kemampuan sains untuk memprediksi menunjukkan bahwa Semesta ini bisa dipahami melalui hukum-hukum alam. Ketika kita gagal dalam membuat prediksi yang akurat, itu karena kita belum menemukan hukum yang tepat. Pandangan dunia kuno ini menempatkan hukum-hukum ini terutama pada domain mikrofisika, sehingga semua kejadian di tingkat makro---yang kita alami sehari-hari---pada akhirnya dijelaskan oleh peristiwa-peristiwa di tingkat mikro. Dalam pandangan ini, meskipun kita belum dapat menjelaskan pengalaman sadar kita melalui elektron, pada akhirnya pengalaman kita dipandang sebagai hasil dari pergerakan elektron.