Mohon tunggu...
Widian Rienanda Ali
Widian Rienanda Ali Mohon Tunggu... Administrasi - Kuli Proyek

Andai mengangkasa tidak semudah berkhianat, pasti akan lebih banyak kisah kebaikan yang dapat ditorehkan dan dilaporkan kepada Tuhan untuk menunda datangnya kiamat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Krisis, Harapan, dan Disrupsi: Panduan Konyol untuk Menghadapi Kacau Balau Dunia

29 Agustus 2024   14:56 Diperbarui: 29 Agustus 2024   15:00 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Roman Krzanic, History for Tomorrow, 2024

Kita sedang berada dalam era yang ditandai dengan turbulensi ekstrem dan ancaman global yang saling terkait. Polikrisis. Metakrisis. Omnikrisis. Permakrisis. Sebutlah dengan nama apapun yang Anda pilih. Sistem di seluruh dunia mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan kekeringan kronis, mencairnya gletser, ekstremisme sayap kanan, risiko kecerdasan buatan, senjata biologis, kenaikan harga pangan dan energi, virus yang menyebar dengan cepat, hingga serangan siber.

Pertanyaan utama yang menghantui kita semua adalah apakah rangkaian krisis ini akan membawa kehancuran peradaban, atau apakah manusia akan berhasil menghadapi tantangan-tantangan ini dan menyesuaikan diri tanpa hancur oleh tekanan perubahan. Banyak tokoh  dari Karl Marx hingga Milton Friedman hingga Steve Jobs -- telah berpendapat bahwa saat-saat krisis seperti inilah yang memberikan peluang bagi perubahan transformatif dan inovasi. Apakah mungkin bagi kita untuk memanfaatkan ketidakstabilan yang tampaknya mengancam kita ini?

Namun, permasalahannya adalah krisis seringkali gagal membawa perubahan sistemik yang mendasar. Contoh-contohnya adalah krisis keuangan 2008 atau kebakaran hutan dan banjir akibat darurat iklim yang sedang berlangsung. Saya ingin mengeksplorasi kondisi-kondisi di mana pemerintah merespons krisis secara efektif dan melakukan perubahan kebijakan yang cepat dan radikal. Misalnya, apa yang diperlukan agar politisi berhenti menunda-nunda dan mengambil tindakan mendesak yang diperlukan untuk mengatasi pemanasan global?

Motivasi saya berasal dari rasa frustrasi yang nyata. Sekitar dua dekade lalu, ketika saya pertama kali mulai memahami skala krisis iklim, terutama setelah membaca buku Bill McKibben berjudul *The End of Nature* (1989), saya berpikir bahwa jika terjadi cukup banyak bencana iklim dalam waktu yang singkat -- seperti badai yang menghantam Shanghai dan New York pada minggu yang sama ketika sungai Thames membanjiri pusat kota London -- maka kita mungkin akan tersadar. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa saya keliru: terlalu banyak alasan bagi pemerintah untuk tidak bertindak, mulai dari kekuatan lobi industri bahan bakar fosil hingga ketakutan patologis akan mengabaikan tujuan pertumbuhan PDB yang terus menerus.

Inilah yang mendorong saya untuk menelusuri sejarah guna menemukan pola umum tentang bagaimana krisis menghasilkan perubahan substantif. Apa yang saya temukan? Respons krisis yang tanggap dan transformatif biasanya terjadi dalam empat konteks: perang, bencana, revolusi, dan disrupsi. Sebelum kita mendalami lebih jauh -- dan memperkenalkan model perubahan yang saya sebut sebagai *simpul disrupsi* -- penting untuk memperjelas makna 'krisis' itu sendiri.

Mari kita luruskan satu hal sejak awal: John F. Kennedy keliru dalam menyatakan bahwa dalam bahasa Mandarin, kata untuk 'krisis' (wij, ) terdiri dari dua karakter yang berarti 'bahaya' dan 'kesempatan'. Sebenarnya, karakter kedua, j (), lebih tepat diartikan sebagai 'titik perubahan' atau 'titik kritis'. Makna ini mirip dengan istilah dalam bahasa Inggris 'crisis', yang berasal dari bahasa Yunani kuno *krisis*, yang dalam bentuk kata kerjanya, *krino*, berarti 'memilih' atau 'memutuskan' pada saat yang kritis. Dalam konteks hukum, misalnya, krisis adalah titik keputusan penting di mana seseorang dapat dinyatakan bersalah atau tidak bersalah.

Seiring waktu, makna dan penerapan konsep krisis telah mengalami perkembangan. Untuk Thomas Paine pada abad ke-18, krisis adalah momen ambang yang dapat menggulingkan tatanan politik dan memerlukan keputusan moral fundamental, seperti memilih untuk mendukung perang kemerdekaan Amerika atau tidak. Karl Marx memandang krisis sebagai kondisi tak terhindarkan dalam kapitalisme, yang dapat mengakibatkan keretakan ekonomi dan politik. Baru-baru ini, Malcolm Gladwell memperkenalkan konsep 'titik kritis' -- momen di mana perubahan skala besar atau penularan cepat terjadi dalam suatu sistem. Dalam bahasa sehari-hari, kita sering menggunakan istilah 'krisis' untuk menggambarkan situasi kesulitan atau bahaya intens di mana tindakan mendesak diperlukan, seperti krisis dalam pernikahan atau krisis ekologis global.

Secara keseluruhan, kita dapat memahami krisis sebagai situasi darurat yang memerlukan keputusan berani untuk bergerak dalam satu arah tertentu. Lalu, kebijaksanaan apa yang dapat ditawarkan oleh sejarah untuk membantu kita memahami apa yang diperlukan bagi pemerintah untuk bertindak dengan berani -- dan efektif -- dalam merespons krisis?

Konteks yang paling umum di mana pemerintah berhasil merespons krisis dengan cara yang transformatif dan efektif adalah selama perang. Pertimbangkan Amerika Serikat selama Perang Dunia Kedua. Setelah serangan Jepang di Pearl Harbor pada bulan Desember 1941, pemerintah AS melaksanakan restrukturisasi ekonomi yang signifikan untuk mempersiapkan negara menghadapi perang. Meskipun menghadapi tentangan keras dari industri, pemerintah memberlakukan larangan produksi mobil pribadi dan menjatah bensin menjadi tiga galon per minggu. Presiden Franklin D. Roosevelt meningkatkan tarif pajak penghasilan federal teratas menjadi 94 persen pada akhir perang, dan pemerintah meminjam serta membelanjakan lebih banyak antara tahun 1942 dan 1945 daripada selama 150 tahun sebelumnya. Semua intervensi ini terjadi dalam kerangka kapitalisme pasar bebas. Selain itu, krisis perang mendorong AS untuk membuang kebijakan politik yang ada dan menjalin aliansi militer dengan Uni Soviet, musuh ideologisnya, demi mengalahkan musuh bersama.

Konteks kedua di mana pemerintah sering kali mengambil tindakan radikal dalam menghadapi krisis adalah setelah terjadinya bencana besar. Contohnya adalah bencana banjir dahsyat yang melanda Belanda pada tahun 1953, yang menyebabkan hampir 2.000 orang kehilangan nyawa. Sebagai respons terhadap bencana ini, pemerintah Belanda meluncurkan proyek ambisius yang dikenal sebagai Delta Works, sebuah sistem pertahanan banjir yang biaya pembangunannya setara dengan 20 persen dari PDB pada masa itu. Saat ini, tidak ada pemerintah yang mengambil langkah serupa dalam menghadapi krisis iklim, bahkan di Belanda sendiri, di mana seperempat wilayah negara berada di bawah permukaan laut dan banjir telah lama menjadi ancaman kritis.

Pandemi COVID-19 memberikan contoh modern lainnya. Sebagai respons terhadap darurat kesehatan masyarakat, pemerintah Inggris yang dipimpin oleh Partai Konservatif menerapkan serangkaian kebijakan radikal yang biasanya dianggap tidak konvensional oleh pemerintah berhaluan kanan-tengah. Langkah-langkah ini termasuk penutupan sekolah dan bisnis, penutupan perbatasan, pelarangan acara olahraga dan perjalanan udara, pengeluaran miliaran dolar untuk program vaksinasi, serta pembayaran gaji jutaan orang selama lebih dari setahun. Langkah-langkah ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah melihat krisis ini sebagai masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh mekanisme pasar semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun