Ketika kepalsuan Melebur dengan Kebenaran
Kurniawan Widiaji
kurniawan.widiaji@mhs.unsoed.ac.id
Univeritas Jendral Soedirman
Pendahuluan
Berkembang pesatnya teknologi komunikasi dan informasi saat ini, telah mengubah perilaku budaya manusia modern di abad 21 ini. Hadirnya internet sebagai media baru masyarakat milenium seakan membawa kita jauh meninggalkan dunia nyata dan masuk lebih dalam ke dunia maya. Media sosial yang merupakan anak kandung teknologi komunikasi internet kini menjadi sarana utama untuk berbagi informasi bagi masyarakat modern. Ironisnya, kecanduan masyarakat modern pada medsos di dunia maya justru kian menjauhkan kita dari relasi sosial di dunia nyata. Tanpa disadari , internet kini justru yang mengontrol kehidupan kita dan bukan sebaliknya. Media sosial ini memang seperti pisau bermata dua. Apalagi jika dikaitkan dalam dunia politik. Di satu sisi penggunaan media sosial , merupakan wujud kebebasan berekspresi dan menyuarakan pendapat. Disisi lain ia rentan ditunggangi para kelompok kepentingan untuk melakukan penghasutan, penyebaran kebencian (hatred) pembunuhan karakter (character assasination) dan berita yang mengadu domba. Pemberitaan palsu( hoax) melalui medsos ini biasanya dijadikan senjata ampuh oleh para kelompok kepentingan untuk membangun kesadaran palsu pula di masyarakat. Kondisi seperti diatas menurut sosiolog Prancis, Jean Baudrillard, disebut sebagai fenomena hiperealitas. Jean Baudrillard menyebutnya dengan simulakra yang berarti duplikat dari sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ada, hal ini menyebabkan perbedaan antara duplikat dan fakta yang menjadi buram, entitas yang telah hilang atau bisa juga dibilang tidak memiliki dasar realitas sama sekali.
Media sosial merupakan salah satu ruang virtual yang mampu menciptakan hiperealitas yaitu suatu keadaan yang tidak mampu membedakan mana yang realitas nyata dan mana yang merupakan fantasi. Dalam praktik hiperealitas orang tidak lagi sadar bahwa apa yang dilihat sebagai kenyataan sebenarnya merupakan rekayasa yang dikemas lewat teknologi. Karena telah terjadi pengambil-alihan realitas dan tatanan sosial budaya yang alamiah oleh simulasi artifisial teknologi. Hiperrealitas adalah keadaan di mana sebuah representasi dipandang lebih nyata dari objek yang direpresentasikan Jika dihubungkan dengan kemajuan teknologi, dengan adanya internet, teknologi digital dan layar sebuah perangkat elektronik, maka hiperrealitas adalah sebuah gagasan di mana apa yang ditampilkan di media perangkat elektronik terasa lebih nyata daripada realitas fisiknya. Sedangkan strategi simulakra (simulasi realitas) memungkinkan realitas aktual untuk digeser, dan digantikan oleh realitas semu yang muncul akibat dari sifat hiperrealitas sebuah simulakra tersebut. (Baudrillard, 1994).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Hiperrealitas adalah suatu keadaan di mana kepalsuan bersatu dengan keaslian, tercampur-baur, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Media sosial seringkali dijadikan ajang merekayasa realitas, yaitu satu realitas yang tampak nyata padahal semuanya hanya sebuah halusinasi image yang tercipta lewat teknologi elektronik.Singkatnya, hiperealitas media saat ini menyajikan suatu kondisi yang di dalamnya kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar dari kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; dan rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran.
Pembahasan
Teori Simulacra Baudrillard memang paling sering digunakan oleh para peneliti untuk menganalisa fenomena hiperealitas media sosial saat ini. Mulai dari penelitian serius yang bermuatan politik sampai hal hal ringan dalam kehidupan sehari hari. Hal ini bukti bahwa fenomena hiperealitas memang dapat dilihat secara nyata diberbagai aspek kehidupan sosial-budaya kita dimasyarakat. Salah satunya Maria Febiana Christanti dalam jurnalnya berjudul “Instagramable” :simulation,simulacra, and hyperreality on instagram post.(dalam maria, 2021) dalam penelitian tersebut mengulas tentang postingan instagram. Peneliti memberikan pengetahuan tentang potensi realitas dari foto atau video yang dipoles yang diunggah ke Instagram.Penulis mengkaji kompleksitas ini menggunakan kacamata Jean Baudrillard dalam tulisannya tentang simulasi dan simulacra. Instagram merupakan media sosial yang membuat manusia ketagihan terhadap tanda dan simbol melalui foto dan video yang “instagramable”.Argumen utama yang digunakan peneliti dalam kajian Baudrillard adalah bahwa tidak ada sesuatu pun dalam budaya kita yang "nyata" dalam arti apa pun. Simulacrum, dianggap sebagai sesuatu yang nyata, yaitu gambaran atau salinan dari sesuatu yang tidak ada. (dalam Wandalibrata, 2018).
Penelitian diatas menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan menggunakan teori dramaturgi (depan dan belakang panggung) untuk mengungkap realitas dan kepalsuan gambar-gambar yang “instagramable”. Kajian ini menganalisis dengan menggunakan empat tahap, yaitu refleksi terhadap realitas yang dalam, menutupi dan mendenaturasi realitas yang dalam, meliputi ketiadaan realitas yang dalam, tidak ada sangkut pautnya dengan realitas apa pun; itu adalah simulacrum murni. Hasil dari penelitian ini adalah simulacra lebih dari sekedar proses. Setiap tahapan yang dilakukan pengguna Instagram mencirikan suatu tingkat simulasi. Penelitian memberikan wawasan kepada kita bahwa simulasi yang “instagramable” adalah imajinasi yang tidak sepenuhnya benar atau tidak benar.
Penelitian serupa dilakukan oleh Yanti Dwi Astuti yang mengkaji fenomena hiperealitas era medsos melaui smartphone . Dalam jurnalnya yang berjudul “Simulation of Social Reality Through New Media Study on Yogyakarta Students Smartphones Users”. Peneliti mengamati bahwa pemakaian smartphone mengungkap simulasi realitas sosial pada aplikasi jejaring sosial yang mengubah lanskap komunikasi mahasiswa Kota Yogyakarta yang menjadi tanpa batas. Ruang buatan yang diciptakan oleh aplikasi smartphone menjadi realitas kedua bagi mahasiswa untuk berkomunikasi. Dalam penelitian tersebut memaparkan penggunaan smartphone telah banyak mengubah pola pikir dan tindakan mahasiswa di Yogyakarta . Mereka lebih banyak melakukan komunikasi, mengerjakan tugas kuliah, mencari hiburan, bisnis online shopping, menebarkan informasi, mengunggah foto, mengunduh jurnal dan e-book, memproduksi dan menyebarkan gambar-gambar meme yang lucu atau yang berkaitan dengan aktivitas tertentu dan melakukan pencitraan diri melalui simbol, gambar dan video yang sengaja mereka ciptakan.(dalam Yanti, 2017)
Nabillah Mahdiyyah Destriana mengkaji teori Budrillard dalam jurnal Hiperrealitas Foodstagramming dalam perilaku konsumsi di Indonesia. Dalam penelitian ini, peneliti mengamati aktivitas konsumsi masyarakat terkait makanan yang dijadikan gaya hidup melalui perilaku makan yang indah dan foodstagraming di Instagram. Peneliti menggunakan metode kualitatif untuk menggambarkan pola makan indah dan foodstagramming sebagai hiperrealitas di media sosial. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis. Sumber data primer diperoleh dari media sosial Instagram yang fokus pada kegiatan foodstagramming komunitas dimana peneliti akan mengamati feed Instagram dari informan atau objek penelitian.Kemudian data lainnya berasal dari data wawancara dan observasi langsung dengan enam orang informan yang terdiri dari masyarakat sebagai konsumen kafe atau restoran, pemilik kafe atau restoran, dan barista atau orang yang bekerja di kafe atau restoran tersebut. Wawancara terhadap informan dilakukan secara langsung di kafe atau restoran yang menjadi objek penelitian ini yaitu di cold n brew dan kopi. Kegiatan observasi langsung bermaksud mengamati perilaku konsumen yang berkunjung ke kafe atau restoran. Dalam temuan dan pembahasannya dalam Foodstagramming adalah “Makan cantik”. Makan cantik merupakan suatu kegiatan makan yang dilakukan di kafe atau restoran tertentu untuk menyiarkan kegiatannya di media sosial. Masyarakat saat ini, khususnya generasi muda seolah-olah sedang berlomba-lomba melakukan aktivitas makan yang indah. Motif selain memang ingin mencoba menu adalah motif harga diri dan kebutuhan mencari jati diri untuk menunjukkan eksistensinya dengan menunjukkan kemampuannya dalam mengunggah foto atau memposting foto/video di Instagram.Masyarakat postmodern adalah masyarakat yang mengutamakan konsumsi(dalam Nabillah,2020). Konsumsi saat ini tidak dapat dipahami sebagai nilai guna, namun lebih sebagai konsumsi tanda. Makan cantik kemudian foodstagramming menjadi ajang konsumsi rambu-rambu di media sosial Instagram dimana keinginan untuk memotret makanan kemudian diunggah ke media sosial untuk menunjukkan siapa dirinya melalui unggahannya. Masyarakat postmodern tidak lagi mengkonsumsi suatu benda berdasarkan manfaat atau fungsi benda tersebut, melainkan konsumsi berdasarkan tanda, simbol, dan gengsi. Kesimpulannya aktivitas makan saat ini bukan lagi sekedar pemenuhan kebutuhan fisiologis saja, namun juga sebagai melambangkan eksistensi dan kelas sosial masyarakat sehingga apa, di mana, kapan, dan bagaimana cara menyantapnya, menjadi simbol yang menunjukkan kelas sosial baru seseorang yang diunggah di medsos seperti instagram.Singkatnya Foodstagramming sebagai ajang pencitraan diri seseorang untuk menunjukkan harga diri sosialnya.
Peneliti Dr. Douglas Kellner dan Dr. Steve Gennaro dalam jurnalnya berjudul Baudrillard and Mc Luhan in the Social Media Age memfokuskan pada pemikiran Baudrillard itu sendiri.Dalam ulasan dijurnal tersebut di era media sosial, identitas digital kita yang tiada habisnya adalah karya seni, dan kita adalah seniman. Dalam pertunjukan, fotografi, film, komposisi, dan desain grafis yang seimbang, kita menuliskan diri kita sendiri ke dalam cerita untuk menggambarkan keberadaan virtual. Pada saat yang sama, “kebersamaan yang tertambat”(dalam Douglas, 2023) .Seni media sosial dapat menghasilkan simulasi hyperreal yang tidak didasarkan pada referensi apa pun. Mereka ada di seluruh platform virtual yang beroperasi dengan cara yang sama seperti deskripsi Jean Baudrillard tentang Disneyland sebagai contoh simulacra di dunia postmodern. Platform media sosial saat ini dan Disneyland-nya Baudrillard menciptakan “efek imajiner yang menyembunyikan bahwa realitas tidak ada lagi di luar selain di dalam batas-batas perimeter buatan” Diri digital kita ada di dalam batasan buatan Instagram, Twitter, atau TikTok seperti halnya di dunia fisik.
Oktavianingtyas dalam jurnalnya “Jean Baudrillard and His Main Thoughts” membahasakan istilah simulacra dengan bahasa yang lebih tegas dan mudah dipahami. Simpelnya, simulasi dari realitas yang telah dibelokkan adalah simulakra. Jika simulasi merepresentasikan sebuah realitas, maka dalam simulakra, realitas yang direpresentasikan sudah kehilangan referensinya. Tidak lagi terlihat mana yang benar dan mana yang salah, mana yang nyata dan mana yang semu belaka. Simulakra “The simulacrum is never what hides the truth - it is truth that hides the fact that there is none. The simulacrum is true.” -Ecclesiastes Jean Baudrillard memulai pembahasannya mengenai simulakra pada bukunya yang berjudul Simulacra and Simulations (1981) dengan menampilkan quote tersebut yang berarti “Simulakra tidak pernah menyembunyikan kebenaran - kebenaranlah yang menyembunyikan fakta bahwa tidak ada kebenaran. Simulakra adalah kebenaran”. Baudrillard bermaksud untuk menyampaikan bahwa masyarakat sekarang ini menganggap bahwa apa yang ditampilkan oleh simulakra adalah sebuah kebenaran. Dianggap nyata dan benar oleh masyarakat, sehingga menghilangkan batasan tentang kenyataan itu sendiri. (Poster,1988). Simulakra didefinisikan sebagai kenyataan atau realitas yang tidak memiliki acuan referensial apa pun (dalam Otvianingtyas 2021) Pemikiran ini berangkat dari analisanya terhadap situasi masyarakat kontemporer pada saat itu. Perkembangan teknologi yang semakin pesat terutama setelah perang dunia ke II telah mendorong kaum kapitalis untuk melancarkan kepentingannya melalui media massa. Para kapitalis memanfaatkan ruang-ruang virtual di media massa untuk membentuk citra semu pada produk industrinya. Pemanfaatan ruang virtual telah mengubah objek yang konkret menjadi abstrak, dan kemudian objek abstrak tersebut diadaptasi oleh masyarakat menjadi objek yang nyata kembali secara berulang-ulang hingga objek tersebut kehilangan referensi aslinya. Dari pembahasan beberapa jurnal diatas maka dapat disimpulkan bahwa diera medsos saat ini menggambarkan realitas seakan sudah mati, yang tersisa adalah persepsi. Persepsi ini kemudian seolah olah lebih nyata daripada realitas. Dalam kondisi seperti inlah yang oleh Baudrilard dikatakan sebagai “nyata tanpa kenyataan,” atau “kepalsuan yang otentik” dalam istilah Umberto Eco.
Hal yang paling membahayakan dalam hiperealitas media ini adalah fenomena hoax. Apalagi, fenomena hoax yang tumbuh dan dibesarkan dalam hiperealitas media kini menjadi persoalan yang meresahkan di Indonesia. Melalui media sosial di internet, fenomena hoax menjadi sangat membingungkan. Hal ini karena kepiawaian si pembuat hoax dengan mencampurkan antara fakta dengan rekayasa. Beberapa media sosial yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan pemberitaan hoax saat ini adalah melalui Facebook, Twitter, hingga WhatsApp. Dalam derasnya arus informasi, setiap individu bergerak bebas menentukan persepsinya.Sekali lagi, realitas seakan sudah mati, yang tersisa tinggal persepsi. Persepsi ini menjadi lebih nyata daripada realitas. Dengan persepsi yang sudah terdoktrin oleh si pembuat hoax, maka si penerima informasi biasanya akan mempersempit perspektifnya dengan cenderung hanya “ ingin membaca dan meyakini apa yang ingin mereka percaya.” Dalam kondisi seperti inlah yang oleh Baudrilard dikatakan sebagai “nyata tanpa kenyataan,” atau “kepalsuan yang otentik” dalam istilah Umberto Eco.
Kontestasi politik dalam Pilkada ataupun Pilpres biasanya paling sering dijadikan ajang untuk “ pertunjukan hoax” di media sosial. Para simpatisan dari masing masing kontestan berlomba dalam beretorika yang dikemas dalam berita hoax. Tanpa beban moral mereka saling melakukan pembunuhan karakter (character assanination) dan fitnah terhadap kandidat lain. Peradaban manusia modern yang terdidik berubah menjadi manusia tanpa nurani dan barbarian. Peleburan informasi antara fakta dan khayalan menyebabkan kebingungan masyarakat sebagai penerima informasi. Efek hoax dalam hiperrealitas media disini akan melemahkan kesadaran manusia dalam membedakan kenyataan dan fantasi sehingga kebenaran, keaslian, kepalsuan, fakta atau kebohongan sangat sulit untuk dibedakan. Bahaya dari fenomena seperti ini dapat membentuk mental masyarakat yang sakit (sick society). Doktrin kebohongan dengan kemasan fanatisme SARA akan membentuk masyarakat yang sakit secara psikis, masing masing dari mereka cenderung hanya akan “membaca apa yang ingin mereka percayai.” Hal ini tentu berbahaya karena menurut frederich Nietsche, keyakinan yang buta bisa lebih berbahaya daripada sebuah kebohongan itu sendiri. Apabila sudah demikian konflik horisontal dalam masyarakat tidak bisa terelakkan. Masyarakat terpecah belah berdasarkan sentimen SARA. Generasi milenial yang yang seharusnya sudah multidimensi cara berfikirnya, justru kembali kealam berfikir yang picik. Bangunan kebangsaan yang telah dirintis oleh generasi 1928 dengan sangat visioner menembus sekat sekat kedaerahan kesukuan menjadi sia sia.Tapi ironisnya pula, justru kaum politisilah yang biasanya selalu paling akhir menyadarinya. Ada ungkapan, kebohongan yang terorganisir dapat mengalahkan kebenaran yang tidak teroganisir. Perilaku ini biasanya dilakukan olah para ahli propaganda yang dilakukan secra sistematis untuk memuluskan tujuan politik mereka. Cara cara ini biasa dilakukan para machiavelis yang menghalalkan cara untuk mencapai kekuasaan salah satunya dangan menyebarkan Kebohongan yang disamarkan dengan kebenaran yang juga bisa dihalalkan melalui penulisan artikel-artikel propaganda. Salah satu tehnik kebohongan yang saat ini marak adalah “Firehose Of Falsehood”.Teknik ini adalah menggunakan kebohongan yang kentara (obvious lies) sebagai propaganda yang hebat. Menurut Christopher Paul dan Miriam Matthews Obvious lies seperti ini ternyata justru bisa menjadi propaganda yang hebat dan efektif. Model propaganda obvious lies ini sederhananya adalah seperti prinsip iklan. Jika suatu pesan yang disampaikan secara massive dan repetitive atau berulang ulang akan mengarah pada “keakraban” dan “keakraban” ini lama kelamaan akan mengarah pada “penerimaan.” Tehnik ini sepertinya juga terinspirasi dari adagium Hitler yang terkenal yang mengatakan “sebuah kebohongan yang diucapkan secara terus-menerus maka akan dianggap sebagai kebenaran pada suatu saat.” Dengan kata lain kebenaran akan hilang oleh kebohongan yang terus diulang. ( Christopher dan Miriam ,2016)
Selain istilah firehose of falsehood kata "post-truth" juga populer sebagai bentuk manipulasi kesadaran publik. Kata ini untuk mendefinisikan situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif. Budaya era post-truth sebenarnya hampir seiringan dengan merebaknya tehnik firehose of the falsehood dimasyarakat yang telah dibahas diatas, atau fenomena hiper realitasnya boudrilard. Fenomena post truth ini sudah ada dalam beberapa dekade terakhir. Ralph Keyes memopulerkan istilah post-truth dalam bukunya yang terbit pada 2004, The Post-truth Era. Frekuensi pemakaian istilah post-truth meningkat khususnya sepanjang 2016. Di era post-truth politics, orang dengan mudah mengambil data manapun dan membuat kesimpulan sendiri dan tafsir sendiri sesuai keinginannya. Pengertian post-truth “agak berbeda” dengan hoax atau fake news yang memuat kecenderungan menyesatkan atau dis-informasi atau faktanya yang dipalsukan.Namun demikian ada “persamaannya” juga dengan fenomena hoax atau fake news atau berita bohong. Persamaan disini terletak pada bentuk keriuhan orang untuk bersaing mengklaim kebenaran. Tiap-tiap kelompok masyarakat mengonstruksi kebenaran menurut versinya masing-masing dan disesuaikan dengan kepentingannya masing-masing. Mereka lebih menonjolkan opini dan tafsir daripada fakta itu sendiri.
Filosof AC Grayling memperingatkan ihwal ‘korupsi integritas intelektual’ akibat praksis post-truth. Menurutnya keriuhan media sosial, merupakan salah satu muatan kunci dalam budaya post-truth. Dimana opini lebih kuat dan menenggelamkan bukti atau fakta. Fenomena post-truth dapat dilukiskan dalam kalimat “Pendapatku lebih berharga daripada fakta-fakta.” Dalam pandangan Grayling, era post-truth bukan saja penuh aroma narsistik, Setiap orang dapat menerbitkan opininya, serta menawarkan tafsirnya sendiri terhadap fakta, dan setiap orang mengklaim bahwa tafsirnya yang paling benar. Pendapat individu atau opini kelompok lebih ditonjolkan dan diangkat sebagai ‘kebenaran’, bukan faktanya. Masyarakat digiring untuk berdiri di atas fakta-fakta yang sudah dimanipulasi, dipoles, dan disembunyikan dari konteksnya. Di era post-truth, masyarakat pada akhirnya akan lebih mencari pembenaran dari pada kebenaran. Post-truth menunjukkan suatu keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik bila dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.
Era post-truth ini melibatkan media sosial sebagai arus utama dan -tentu saja- para si pembuat opini. Fakta-fakta ini kemudian bersaing dengan hoax dan kebohongan untuk dipercaya publik. Dalam persaingan di media sosial ini berdampak semakin tipisnya pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi. (Jones, Molly Morgan,2016) Sebagai contoh Di Ukraina tumbangnya presiden Ukraina diawali dengan sebuah status di medsos yang dibuat seorang jurnalis di Facebook yang dilanjutkan dengan seruan berkumpul di Lapangan Maidan di Kiev, di Rusia, Presiden Putin juga memanfaatkan medsos sebagai kampanye terselubung kepada negeri tetangganya seperti Ukraina, Prancis, dan Jerman. Bahkan Senat Amerika pernah memanggil perwakilan Google, Facebook dan Twitter dalam kasus mengarahkan suara pemilih dan memecah belah masyarakat yang diduga melibatkan Rusia. Di Inggris referendum Brexit secara efektif menggunakan medsos seperti Facebook untuk memasang iklan. Trump juga menggunakan medsos untuk kampanye mempengaruhi pemilih dengan membuat 50.000-60.000 iklan yang berbeda di medsos, utamanya di Facebook. Perkembangan sosial media dan gencarnya fenomena post truth di Indonesia akhir-akhir inipun, menjadikan media sosial kita menyuguhkan berbagai jenis informasi yang tidak selalu berdasarkan fakta, tapi malah mempertipis batas pembenaran dan kebenaran.
Penutup
Melihat berbagai jenis fenomena kepalsuan diatas,maka diperlukan kesiapan yang matang bagi generasi masa depan Indonesia untuk memanfaatkan media sosial, secara bijak yaitu dengan meningkatkan kecerdasan emosional dan analisa berfikir yang sehat. Apalagi bila ini dikaitkan dengan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara . Maka perlu segera dilakukan pemulihan akal sehat dan menyadari bahwa fenomena hoax dan berbagai variannya akan mengancam keutuhan bangsa. Kegandrungan masyarakat Indonesia masa kini pada budaya medsos seperti tweeter, facebook, instagram, whats up, telegram, You Tube dan lain lain makin lama makin mengarah pada sikap yang intoleran dan mengeksploitasi kebencian. Perbedaaan pandangan dan pilihan politik menimbulkan kegaduhan sosial yang kemudian menjurus pada konflik horisontal di masyarakat. Ujaran kebencian(hate speech), pembunuhan karakter (character assasination) isu SARA, berita berita palsu dan fitnah (hoax), makin menjauhkan kita dari nation character building dan kearifan lokal yang kita miliki di masa lampau. Degradasi etika dan moral masyarakat karena dampak liberalisasi informasi perlu disembuhkan mental dan pikiannya. Salah satu solusinya adalah kembali membangkitkan nation and character building bangsa kita di abad 21 ini dengan menghayati kearifan lokal di wilayahnya masing-masing.
Masyarakat Indonesia selain menggunakan medsos, beberapa diantara mereka masih menonton televisi sebagai sarana hiburannya. Dari sini sebenarnya televisi bisa dijadikan sarana untuk mengedukasi masyarakat dalam membentuk karakter, etika moral yang berbasis kearifan lokal. Dulu pada era akhir abd 20an dan awal abad 21 kita masih disuguhkan acara televisi yang merepresentasikan realitas sosial yang berbasis kearifan lokal. Acara televisi seperti Si Doel anak sekolahan, Bajaj bajuri, keluarga Cemara dan lain lain menjadi acara favorit pemirsa televisi.Hal ini bukti bahwa masyarakat Indonesia sendiri sebenarnya masih muncul suatu kerinduan akan tontonan yang merefleksikan realitas sosial yang penuh dengan kearifan lokal. Ketika suatu program televisi dibuat dengan mengacu pada kearifan local yang dipegang masyarakat,maka masyarakat tidak akan tercerabut dari akarnya serta bisa merefleksikan kondisi masyarakat dan lingkungannya. Kearifan lokal sendiri merupakan hasil proses dialektika antara individu dengan lingkungannya. (dalam Wiwik, 2013) Dari kearifan lokal inilah menghasilkan simbol identitas budaya (local reference) dimana didalamnya banyak mengandung nilai yang meliputi sistem kepercayaan(belief), nilai(value), sikap(attitude), pandangan dunia(world view) dan organisasi sosial (social organization). (Widiaji, 2002) Menurut Wiwik Novianti, pada aras individu kearifan local muncul sebagai hasil dari proses kerja kognitif individu sebagai upaya menetapkan pilihan nilai nilai yang dianggap paling tepat bagi mereka. Sedangkan pada aras kelompok kearifan lokal merupakan upaya menemukan nilai nilai bersama sebagai akibat dari pola pola hubungan(setting() yang telah tersusun dalam sebuah lingkungan.(dalam Wiwik, 2013) Maka ini menjadi tantangan bagi para pelaku industri televisi saat ini untuk terus mau memerjuangkan munculnya kearifan lokal dalam program hiburan televisi. Tayangan televisi bisa menjadi alternatif moral untuk megedukasi masyarakat dtengah rimba raya medsos yang sering menyesatkan mental dan pikiran masyarakat kita.
Daftar Pustaka
- Maria Febiana Christanti2021“Instagramable” :simulation,simulacra, and hyperreality on instagram post Vol.1No.4(2021):international journalof social Service and Research(IJSSR) https://doi.org/10.46799/ijssr.v14.59
- Yanti Dwi Astuti ,2017 Simulation of Social Reality Through New Media Study on Yogyakarta Students Smartphones Users.Jurnal Pekommas, Vol. 2 No. 1, April 2017: 75-86
- Dr. Douglas Kellner dan Dr. Steve Gennaro (2023)Baudrillard and Mc Luhan in the Social Media Agehttps://www.baudrillard-scijournal.com/baudrillard-and-mcluhan-in-the-social-media-age/
- Oktavianingtyas (2021)“Jean Baudrillard and His Main Thoughts”https://www.doi.org/10.37010/propv1i2.258
- Islam, R. C. (2017). Simulacra sebagai kritik atas ( Studi Analisis Atas Pemikiran Jean P. Baudrillard ). Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol.2 No,1 .
- Koch, A. M., & Elmore, R. (2006). Simulation and Symbolic Exchange: Jean Baudrillard’s Augmentation of Marx’s Theory of Value. Politics and Policy 34 (3) , 556-575.
- Haryono, C. Gatot. (2020). Kepalsuan Hidup dalam hiperrealitas Iklan (The
- Falsehood of Life in Advertising Hyperreality). Profetik Jurnal Komunikasi
- Nabillah Nabi Mahdiyyah Destriana(2020) Hiperrealitas Foodstagramming dalam Perilaku Konsumsi Remaja di Indonesia https://doi.org/10.21831/hsipi.v7i1.28250
- Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation. Ann Arbor: The Michigan University Press.
- Dutton, D. (1990). Jean Baudrillard. United States Of America: John Hopkins University Press. Retrieved from new world encyclopedia.
- Wandalibrata, M. P. (2018). Simulakra Sebagai Pembentuk Realitas Palsu. Jurnal Cakrawarti, Vol. 01,, 56.
- Poster, Mark. (1988). Jean Baudrillard Selected Writing. California: Stanford University Press,
- Philosophy, S. E. (2019). Jean Baudrillard. Retrieved from Stanford Encyclopedia of Philosophy: https://plato.stanford.edu/entries/baudrillard/
- Paul, Christopher dan Miriam Mathews (2016) The Russian “Firehose of Falshood ”Propaganda Model.” Diunduh dari https://www.rand.org/pubs/perspectives/PE198.html pada Sabtu 9 Desember 2023 pukul 21:25 WIB
- Jones, Molly Morgan. (2016) “In a Post Truth” Evidence and Expert Matter More Than Ever”. Diakses dari https://www.rand.org/b;og/2016/12/in-a-post-truth-world-evidence-and -expert-matter-more.html pada Sabtu 9 desember pukul 21: 30 WIB
- Kreitner , Richard (2016) Post truth and its consequences: What a 25 years-Old Essay Tellus About A Current Moment ”diakses dari https://www.thenation.com/article/Post-truth–and-its-consequences:-What-a-25-years-Old-Essay–Tellus- About -A–Current-Moment. Pada sabtu 9 desember 2023 pukul 21;30
- Wiwik Novianti,(2013) Kearifan Lokal Dalam Industri Hiburan Televisi Indonesia Observasi Vol 11, No,1
- Suseno, Franz Mgnis 1999 Etika Jawa, Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakrata. Gramedia Pustaka Utama, .
- Widiaji, Kurniawan skripsi tanggapan masyarakat dusun semagung terhadap tema bulan Maria bulan mei 2001
- Harsin, Jayson (2018)”Post Truth and Critical Communication Studies. Oxford Research Encyclopedia of communication.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H