Singkatnya, melalui kemampuan Computational thinking akan menghasilkan generasi milenial yang mampu berfikir canggih ala komputer. Kecanggihan berfikir ini dianggap sesuai  untuk para generasi milenial  yang hidup di era budaya digital. Kita semua tahu , era digital  telah  membentuk tatanan baru dimana manusia dan teknologi hidup berdampingan dan senantiasa berkolaborasi. Ini adalah realitas yang harus dihadapi dengan penuh rasa optimisme.
Berbagai tawaran metode pembelajaran inovatif dalam merespon era digital sebenarnya  sudah  bermunculan sebelum pandemik ini menjalar sampai ke Indonesia. Unsur-unsur pembelajaran terbaru yang dimaksud, antara lain; TPACK (technological, pedagogical, content knowledge) sebagai kerangka dasar integrasi teknologi dalam proses pembelajaran, pembelajaran berbasis Neuroscience, pendekatan pembelajaran STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics), HOTS (Higher Order Thinking Skills), Tuntutan Kompetensi Abad 21 atau 4C (Comunication, Collaboration, Critical Thinking, Creativity), kemampuan literasi,  dan unsur-unsur lain yang terintegrasi dalam komponen maupun tahapan rencana pembelajarannya.
Meski demikian ada hal yang perlu kita kritisi juga. Paling tidak dari sudut pandang pemikiran kihajar dewantara yang mengedepankan budi pekerti yang merupakan perpaduan cipta (kognitif), rasa (afektif), dan karsa (psikomotorik).Â
Terdapat kekhawatiran di era digital ini para guru nantinya akan cenderung disibukkan dengan mengoptimalkan peserta didik di ranah kognitif. Dulu generasi abad 20, adalah generasi yang suka membuat buku. Kini abad 21, generasi ini akan disibukkan menjadi generasi pembuat aplikasi.Â
Guru akan kian berfokus pada perilaku yang menekankan "intelektual komputasional" peserta didiknya. Keterampilan dalam berfikir, pengetahuan dan logika  dijadikan sebagai primadona, sementara  penilaian penilaian moral dan sikap seakan tersisihkan , dijadikan nomer kesekian karena bukan diangggap sebagai sesuatu yang" ilmiah." Ranah kognitif yang lebih menekankan kemampuan dan kecerdasan otak tersebut  dikhawatirkan akan melemahkan sisi kemanusiaannya.Â
Terlebih dengan konsep berfikir komputasional, yang membentuk manusia menjadi berfikir ala komputer.  Sydney Justin Harris jurnalis dari Amerika Serikat pernah mengingatkan  "The real threat is not when computers start to think like humans, but when humans start to think like computers " (ancaman nyata sebenarnya bukan pada saat komputer mulai bisa berpikir seperti manusia, tetapi ketika manusia mulai berpikir seperti komputer. )
Dalam budaya digital, sesuatu dianggap  proses yang logis, bila melalui algortima berfikir ala komputer yang mekanistik. Demikian pula dengan pendekatan pembelajaran STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics, lebih cenderung membentuk siswa berfikir logis mekanistik.
 Logika yang dipahami mekanistik ini oleh Horkeimer disebut sebagai bentuk "rasio kognitif instrumental", yaitu rasio yang hanya menitik beratkan pada kepentingan tekhnis yang biasanya dilakukan dalam wilayah ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai obyek murni. Rasio macam ini biasanya dilakukan dalam ilmu biologi, kimia, fisika, matematika," seni digital" juga ilmu ilmu tentang pemesinan yang kesemuanya tunduk pada hukum hukum mekanis. Kebenaran rasio semacam ini menganggap bahwa yang "rasional" itu operasional, efektif, efisien, dan dapat dioperasionalkan.Â
Pembahasan tentang Roh, dewata, mitos, kepercayaan-kepercayaan, penilaian-penilaian moral, disingkirkan dari cangkupan "rasional" itu. Rasio dalam konteks kebudayaan digital ini tidak mengandung isi moral. Sebab semua harapan, penilaian moral, unsur subyektif dianggap tidak rasional serta menghambat efektifitas, efisiensi, dan operasionalitas sistem sosial dan tekhnologi.
Untuk menyikapinya, Guru, sebagai pendidik milenial yang "berjiwa" Kihajar Dewantara harus jeli dalam menerapkan pembelajaran yang sesuai karakteristik mata pelajarannya. Menurut Habermas, pemahaman "rasionalitas" dalam wilayah ilmu ilmu sosial memerlukan pendekatan yang spesifik berbeda.Â
Dalam konteks penelitian sosial, maka perlulah menggunakan pendekatan humanistis-interpretatif. Bagaimanapun wilayah ini adalah wilayah sosial yang manusiawi, suatu wilayah yang dihayati. Wilayah ini mencakup banyak sekali bidang seperti sosiologi, politik, antropologi, kesenian, sejarah, arkeologi, psikologi dan lain lain.